Mendaki Semeru

mahameru

Postingan Mei 2012

Mendaki Semeru, mimpi para pendaki. Gunung tertinggi di Jawa ini memiliki daya tarik yang luar biasa. Aku kesana 17-20 Mei 2012. Dari Jogja aku naik kereta bersama suami dan seorang teman, bernama Abdi. Sampai Malang, jam 8 pagi dan langsung bergabung dengan 30-an teman dari Jakarta. Wow..ramai..

m1
Bersiap menaiki Jip

Dari stasiun Malang kami menyewa angkot menuju Tumpang. Dari Tumpang kami ‘ngantri’ menunggu jatah naik jip. Satu jip normalnya berisi dibawah 10 orang, biar bisa duduk dengan nyaman. Tapi, saat ramai pendakian, jip biasa diisi sampai 17 orang. Perjalanan cukup menegangkan, kondisi jalan tidak rata, sebagian memiliki kemiringan hingga 60 derajat, sementara kanan dan kiri, jurang. Namun pemandangannya sungguh luar biasa. Bukit yang dikenal sebagai teletubis berdampingan dengan Bromo.

m2
Suasana di basecamp Ranu Pani

Kira-kira jam 16.45, sampailah kami di Ranu Pani. Basecamp pertama, dimana masih kita jumpai rumah penduduk. Ada danau luas di sini tapi kurang bersih dan tak terawat. Disini juga ada 2 kamar mandi yang atriannya lumayan panjang. Kalau pagi ada penjual soto dan bakso. Disini kami melakukan cek terakhir, menata ulang barang-barang biar lebih praktis. Barang yang kira-kira akan dibutuhkan dipindah ke bagian atas carier, makanan dan minuman diletakkan di tempat yang terjangkau. Dan tentu saja senjata utama di malam hari yakni headlamp langsung dipasang di kepala.

Dan tepat pukul 17.30 pendakian dimulai. Kami berjalan dan terus berjalan berjam-jam, terbagi dalam beberapa kelompok. Terengah-engah, istirahat, minum, makan cokelat dan cemilan, jalan lagi. Tiba di pos 1, 2, 3 dan akhirnya sampai di Ranu Kumbolo saat tengah malam. Tenda-tena telah dipasang oleh tim yang datang duluan. Brrr….dinginnya jangan ditanya. Saking dinginya, bara api sepertinya tak terasa panas. Setelah shalat dan minum hangat, aku ambil sleeping bag dan tidur.

base camp rakum 1 palsu
Suasana Pagi di Ranu Kumbolo

Rasanya baru sebentar tidur , eh sudah pagi. Danau Ranu Kumbolo (Rakum) diselimuti kabut putih. Dingin banget. Di sana sini para pendaki berjaket tebal, menenteng kamera dan jepret sana sini. Inilah bedanya pendaki saat ini dengan masa lalu. Dulu hanya 1-2 orang yang punya kamera. Sekarang, dalam satu tim bisa jadi ada 80% diantaranya memiliki kamera.
Lalu digelarlah beraneka makanan. Yang agak ‘tradisional’ memasak nasi goreng dan mie instan. Yang lebih modern, masak makaroni, bubur ayam, memanggang roti bahkan membuat pancake saus strawbery. Wow..yummy..

Danau di Ranu Kumbolo

Mandi pagi? Siapa yang berani..Tapi jangan salah kira ya. Meskipun kami tidak mandi, tapi tak ada yang bau, kok! Sepertinya hawa dingin melenyapkan bau-bau keringat kami. Di Rakum kami menikmati pagi yang indah. Matahari yang pelan-pelan naik, pohon-pohon yang makin jelas terlihat dan danau yang tampak lebih jernih. Saat hari makin siang ada juga sekelompok pendaki yang nyemplung berenang. Ada pula yang memanfaatkan kasur udara sebagai perahu dan berlayar di danau. Macam-macam deh…

 

tanjakan cinta
Pemandangan Ranu Kumbolo dari “Tanjakan Cinta”

Hari makin siang dan kami bersiap melanjutkan perjalanan. Dari Rakum kami menuju pos Ranu Kumbolo yang sebenarnya. Lho..Jadi ternyata tempat kami menginap semalam bukan pos Rakum sebenanya. Kami baru menemui tempat ini setelah menyusuri satu bukit..
Yang menjadi ciri pos Rakum ‘asli’ yakni bangunan yang bisa dimanfaatkan untuk berteduh. Kami berhenti sebentar untuk foto-foto dan bersiap mendaki “Tanjakan Cinta.” Kalian pasti bertanya, kenapa disebut “Tanjakan Cinta?” Konon, kalau melewati tanjakan ini sambil membayangkan wajah seseorang dan tidak menoleh-noleh ke belakang hingga kita berhasil melalui tanjakan ini, maka orang yang kita bayangkan itu akan menjadi pendamping hidup kita. Benarkah legenda itu? Silakan coba untuk membuktikannya. Aku, sih, tidak tertarik. Karena orang yang aku harapkan jadi pendampingku, sudah ada di sini. hehe…

lavender
Padang ‘Lavender”
Dari “Tanjakan Cinta” kami menuju “Oro-oro Ombo” atau padang savana yang luas. Seperti di Afrika, kah? Mungkin, karena aku belum pernah ke sana ^_^ Di sini terdapat rumput-rumput pendek dan bunga-bunga lavender ungu. Perjalanan relatif mudah karena datar.
Lalu kami melanjutkan perjalanan ke hutan “Cemoro Kandang.” Dari sini perjalanan agak membosankan, ‘hanya’ melihat pohon-pohon. Sebagian dari pohon tersebut menghitam karena terbakar. Kami terus berjalan. Tepat pukul 17 dalam rintik hujan, kami sampai di Kalimati atau basecamp ‘terakhir’ sebelum puncak Mahameru.
Suasana di Kalimati

Alhamdulillah, rasanya tak percaya aku bisa menjejak tanah disini. Sujud tanda syukur kulakukan bersama shalat ashar yang dijamak ta’khir bersama dzuhur. Saat teman-teman rapat mempersiapkan summit attack (muncak), kusampaikan bahwa aku dan suami tak ikut ke puncak. Banyak yang heran, kenapa? Entahlah, sejak awal berangkat aku merasa tidak ingin ke puncak. Salah satu alasannya pesan ibu untuk menuruti peraturan dari Badan Meteorologi yang melarang pendaki ke puncak. Alasan lain, aku merasa harus tau diri. Mahameru tidak seperti puncak gunung lain. Sebelum menuju ke sana kita harus melalui lautan pasir yang siap “menenggelamkan” kaki. Sampai-sampai ada guyonan sesama pendaki bahwa untuk mencapai Mahameru kita harus bersiap dengan formasi 3-5 yang artinya 3 langkah maju dan 5 langkah mundur (karena terperosok pasir) . Jadi malam ini aq memilih tidur di tenda. Sungguh nyaman dan nyenyak tidurku malam ini. Karena tenda terasa lapang..hehe

Paginya, kami dan 3 teman (Ali, Ariel dan Nena) yang tak ikut muncak menyiapkan sarapan untuk teman-teman. Masak nasi, goreng ayam, nugget, dll. Lalu satu persatu teman turun. Mungkin hanya ada setengah dari tim kami yang sampai ke puncak. Rata-rata turun lagi karena kehabisan minuman dan khawatir kena asap panas yang mengalir ke arah pendaki setelah jam 9 pagi. Terbukti bahwa Mahameru memang tidak mudah ditaklukkan.

semeru berasap
Terlihat asap (seperti kepala bebek) menyembur dari puncak Mahameru
Seharian aku menikmati pemandangan, foto-foto dan bersiap turun di sore hari. Dari Kalimati ke Rakum dapat kami capai dengan waktu setengah kali lebih cepat dibanding kemarin. Lalu sempat masak-masak dan makan di Rakum.
Jam 11-an malam kami lanjutkan perjalanan dengan mengambil jalur Ayek-ayek. Beberapa pendaki menyatakan bahwa jalur ini rintisan Soe Hoek Gie bertahun-tahun yang lalu. Namun jarang yang melewati karena tidak banyak yang tahu. Kami memutuskan mengambil jalan ini karena katanya (entah kata siapa) lebih cepat sampai ke Ranu Pani meski medannya lebih berat.
Namun, apa yang terjadi? Masya Allah, sungguh tak terduga. Jalur ini ternyata berat luar biasa. Hampir 7 jam kami nyaris tak bisa istirahat karena jalur yang terus menanjak. Sama sekali tak ada tempat datar sekedar untuk duduk atau merebahkan diri. Rasanya aku pingin nyerah. Berkali-kali muncul godaan untuk mengeluh, Coba ya kalau tadi lewat jalur biasa aja. Paling 3-5 jam dah sampai Ranu Pani dan bisa istirahat, pikirku.
Pemandangan kala Sunset

Tapi beginilah hidup. Ada keputusan-keputusan yang sudah diambil dan kita harus siap dengan konsekuensinya. Jadi walau capek luar biasa, ngantuk karena tak tidur semalaman, nyaris putus asa karena jalan yang seakan tak berujung, tidak ada pilihan lain selain terus berjalan.

 

Sayangnya, saking capeknya, aku jadi tak bisa menikmati perjalanan. Padahal langitnya luar biasa indah. Bintang jatuh berkali-kali melintas. Dan kami seperti di atas awan saking tingginya.
DSC06781
Danau Ranu Pani terlihat dari atas
Aku pikir-pikir sepertinya jalur ini tak kalah tinggi dengan puncak Mahameru. Dan…setelah berkali-kali ‘kecewa’ karena serasa tak sampai-sampai 🙂 akhirnya…jam 7 pagi sampai juga di Ranu Pani. Jangan tanya rasanya kayak apa. Tapi sebenarnya aku merasa lebih capek di hati. Dan baru sekarang aku menyesalinya. Coba kalau di bawa happy mungkin cuma capek di kaki.
Lalu kami makan, minum, mandi dan bersiap pulang. Aku dan suami naik bus -bareng rombongan Semarang- dari terminal Arjosari-Surabaya dan lanjut Surabaya-Magelang. Kami sudah seperti orang mabuk. Duduk langsung zzzz (tidur pulas). Cuma bangun sebentar untuk bayar tiket langsung tidur lagi. Kami juga bangun saat di rumah makan, makan, minum dan langsung tidur lagi. Sampai Magelang jam 9 malam. Bahkan setelah di rumah-pun aku kembali melanjutkan tidur… ^_^

2 thoughts on “Mendaki Semeru

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s