Dua hari terakhir Ibuku masuk rumah sakit lagi karena gejala stroke yang berulang. Tiga pekan terakhir tekanan darah beliau memang cenderung tinggi. Terapi obat juga sempat terhenti karena kami mengira setelah obatnya habis tidak perlu menebus obat lagi. Belakangan kami baru sadar kalau penderita darah tinggi perlu rutin minum obat.
Singkat cerita, stroke Ibu kambuh dan segera kami larikan ke UGD RS AH. Sampai di sana beliau segera diperiksa dan diputuskan opname. Kami pun mengurus administrasi, menemani ibu rontgen, baru masuk kamar. Sesiangan itu kami menunggu visit dokter spesialis saraf yang datang sekitar pukul 2 siang dengan waktu kunjungan kirang dari 5 menit. Aku masih syok saat ibu dokter berlalu sementara aku belum puas konsultasi.
‘Ah biasa memang kalau di RS itu dokter yang berkunjung cepat sekali,” ujar kakakku.
Kebetulan setelah itu sepupuku yang juga berprofesi sebagai dokter menelpon san menanyakan perkembangan kesehatan ibu. Aku langsung komplain mengenai kunjungan dokter yang sangat singkat dan kurangnya waktu untuk konsultasi. Dia menyatakan semasa pandemi ini memang ada kecenderungan dokter spesialis membatasi kunjungan bahkan ada yang tidak mau menyentuh pasien sama sekali. Dia menghibur dengan menyampaikan kalau minimal Ibu sudah mendapat injeksi obat. Aku lalu bertanya-tanya kapan Ibu mendapat injeksi obat karena merasa tidak mendapat informasi apapun. Di akhir pembicaraan sepupuku tersebut menjanjikan akan mengontak bagian manajemen RS agar kami mendapat informasi lebih lanjut.
Sorenya, ada perawat yang datang ke ruangan dan menjelaskan penanganan yang sudah diberikan. Mulai dari injeksi obat saat Ibu masuk UGD, obat yang diberikan siang hari dan lain-lain. Si Mbak perawat juga menyatakan kalau kami bisa konsultasi dengan dokter spesialis kunjungan esok.
Pagi ini ketika perawat datang untuk memberikan obat injeksi aku berinisiatif bertanya jenis dan tujuan pemberian obat tersebut. Juga apa standar menilai ibu sduah ada peningkatan yang menjadi patokan kapan beliau bisa pulang.
“Dokter yang akan memutuskan kapan pasien boleh pulang, Bu!” jawab perawat singkat, menjawab pertanyaanku yang terakhir.
Aku juga kembali menanyakan kesempatan berkonsultasi dengan dokter spesialis, jawabnya, “Kalau ingin konsultasi, sebaiknya Ibu bertemu dokter di ruang depan karena terkadang dokter tidak ingin menjelaskan kondisi di depan pasien,” jawabnya.
Hari itu saat bagian gizi mengantarkan makanan aku juga bertanya, apakah bisa bubur nasi yang dihidangkan diganti dengan nasi biasa, ternyata bisa. Siangnya ketika dokter spesialis berkunjung, beliau benar meluangkan waktu buatku untuk berkonsultasi. Bahkan ketika ibu menyatakan ingin segera pulang, beliau merespon secara positif dengan memastikan bahwa keluhan-keluhan kemarin sudah hilang sehingga Ibu bisa pulang.
Dan, benar, sore tadi ibu sudah boleh pulang. Kami sekeluarga tentu senamg sekali.
Namun selama dua hari di RS ini aku berefleksi, ‘Kenapa, ya, kita ini kalau dirwat di RS tidak pernah mendapat penjelasan, apa penanganan yang dilakukan, jenis obat yang diberikan dan kondisi seperti apa yang diharapkan bisa dicapai?”
Untuk kasus ibuku, sebenarnya informasi yang kubutuhkan sederhana saja. Kubayangkan, saat masuk UGD, perawat atau dokter akan memperkenalkan diri sebelum menanyakan gejala-gejala. Ini penting buat keluarga pasien untuk mengetahui otoritas orang yang menangani keluarga kita. Lalu setelah mendengar penuturan kami dan memutuskan, “pasien ini perlu dirawat ya pak/bu!” aku berharap dokter tersebut akan menjelaskan penanganan apa yang akan diberikan. Misalnya setelah ini pasien akan diberikan injeksi obat X untuk mencegah kerusakan yang lebih parah (misalnya). Setelah itu pasien akan dirontgen untuk mengetahui bla bla. Lalu pasien akan diperiksa dokter spesialis dan akan diberikan informasi lebih lanjut. Harapanku juga dokter spesialis setelah memeriksa akan memberikan informasi sesuai kondisi pasien maka akan diberikan penanganan ini dan itu, obat X dan Y sampai kondisi tertentu sehingga pasien bisa pulang atau perlu penanganan lebih lanjut.
Apakah keinginan tersebut terlalu muluk, pertanda pasien rewel..atau cerdas?