Di masa pandemi korona seperti sekarang, mesti pinter-pinter milih tempat wisata. Aku biasanya memilih tempat wisata outdoor, lokasinya luas, tidak terlalu banyak orang dan minim interaksi dengan pengunjung lain. Berkunjung ke Gunung Telomoyo, Magelang, Jawa Tengah, memenuhi kriteria ini.
Lokasinya mudah dicari, tinggal ketik ‘Gunung Telomoyo’ di GPS dan ikuti petunjuk yang ada di sana, kita akan sampai di parkiran wisata. Saat keluar dari mobil, seorang laki-laki menghampiri kami dan menyodorkan pamflet berisi informasi harga paket menyewa jip ke puncak gunung Telomoyo. Tertera 3 pilihan paket, Paket siang antara jam 9 pagi sampai pukul 15.00 WIB Rp 350 ribu, paket sunset Rp 550 ribu dan paket sunrise Rp 750 ribu. Kami datang saat siang hari, otomatis pilih paket pertama.
Kami pun membayar Rp 350 ribu untuk sewa jip dan Rp 20 ribu untuk tiket masuk 2 orang dewasa. Lalu naik jip yang kapasitasnya 4 dewasa dan pas untuk kami sekeluarga (ayah ibu dan 3 anak). Mulailah perjalanan yang menyenangkan, melewati area pertanian, hutan pinus dan pohon-pohon lain yang aku tidak tahu namanya. Kadang jalannya jelek jadi jip berguncang-guncang, kadang mulus. Di tiap belokan pak supir akan membunyikan klakson untuk memberi tahu kendaraan dari arah yang berlawanan.
Di sepanjang perjalanan kami mengobrol tentang pemandangan yang kami lihat. Lili berkomentar mengenai udara pegunungan yang dingin. Kami membahas telinga yang terasa tersumbat saat berada di ketinggian. Juga saling menduga jenis-jenis hewan berdasar suara yang kami dengar. Sesekali kami berfoto, baik di dalam jip maupun saat berhenti di lokasi dengan pemandangan bagus.
Setelah kurang lebih 30 menit perjalanan sampailah kami di puncak. Sayang sekali pas berkabut. Pemandangan tidak jelas. Jalanan dan pemandangan sekitar memutih. Udara terasa dingin dan lembab.
Kami mampir di sebuah kedai dan pesan pop mie. Saat anaka-anak menunggu makanan, aku inisiatif jalan-jalan sendiri. Ada sebuah tanjakan dengan tangga menuju sebuah pemancar yang dikelilingi pagar terkunci.
Sampai di tangga paling atas, terlihat jalan tanah memutar ke arah samping pemancar. Aku pun memberanikan diri menapaki jalan tanah tersebut sambil berpegangan di pagar pamancar. Kita mesti ekstra hati-hati karena tidak ada pengaman di sekitar jalan tanah yang dikelilingi lereng curam tersebut. Tidak terlihat seorang pun di sekitar. Sempat terlintas di benakku, kalau sampai terpeleset lalu jatuh ke lereng, tidak akan ada orang yang tahu dan pasti butuh waktu lama untuk mendapatkan pertolongan.
Jalanan tanah, sempit, dikelilingi lereng curam yang ditumbuhi aneka tanaman itu mengingatkanku akan jalan-jalan setapak yang biasa kutapaki saat masih sering mendaki. Sayang pemandangan sekitar dipenuhi kabut. Pasti akan tampak indah saat cuaca cerah.
Setelah istirahat sebentar, duduk di batu sambil menikmati suasana dan mengambil beberapa foto aku kembali ke kedai menemui mas Sigit dan anak-anak. Tampak 2 pengunjung lain baru datang dan tengah menikmati kopi. Kami sekeluarga lalu menikmati mie dan beberapa camilan yang kami bawa dari rumah.
Lili dan Ihsan asyik bermain, Sofie menikmati mie dan kami mengisi waktu dengan mengobrol. Terkesan rugi, naik ke puncak gunung hanya untuk makan mie dan duduk-duduk. Tapi entah mengapa, aku menikmati sekali kesempatan tersebut.
Jika dibandingkan dengan perjalanan kami ke Bromo tahun lalu, mengunjungi Telomoyo terasa lebih berkesan. Mungkin karena anak-anak sedang bersemangat dan mereka juga menikmati suasana. Sementara saat ke Bromo, anak-anak mengantuk dan rewel karena ‘dipaksa’ mengikuti jadwal kami orang dewasa yang ingin melihat matahari terbit dari ketinggian. Karena tidak menikmati suasana, kemungkinan besar mereka juga tidak ingat kalau sudah pernah menaiki Bromo.
Saat di puncak Telomoyo, pemandangan memang tidak terlihat karena dipenuhi kabut. Tapi anak-anak terlihat menikmati perjalanan. Mereka merasakan mengendarai mobil di jalanan yang berliku. Mereka melihat aneka pohon dan tanaman di gunung. Mereka menghirup udara segar, melihat kabut dan awan yang terasa begitu rendah. Mereka mendengar kicauan burung dan suara serangga. Mereka menikmati mie panas, yang pasti terasa lebih lezat dibanding saat menyeduh makanan yang sama di rumah. Mereka duduk di kedai yang terbuat dari bambu, merasakan semilir angin pegunungan yang dingin dan menikmati waktu bersama keluarga.
Jika kurenungkan lagi, hal-hal kecil dalam hidup seperti ini yang justru lebih berharga. Sekadar makan mie di puncak gunung, ngobrol ngalor ngidul dengan mas Sigit, melihat Lili dan Ihsan bercanda, membuat hati terasa penuh. Dan untuk membuat anak-anak senang tidak melulu harus dengan mainan mahal atau liburan mewah.
Tahu nggak? Lili dan Ihsan tertawa-tawa hanya karena makan kuaci bunga matahari! Lili mengupas kuaci buat Ihsan, lalu dia meminta Ihsan mendongak sambil membuka mulut. Kemudian Lili menjatuhkan kuaci ke mulut Ihsan. Tiap kali kuacinya jatuh ke lantai, baik Lili dan Ihsan terbahak. Lalu mereka akan memulai lagi proses dari awal. Lili mengupas kuaci, ihsan mengambil posisi, Lili menjatuhkan kuaci ke mulut Ihsan, tapi terlewat, kuaci jatuh ke lantai dan mereka tertawa-tawa lagi. Begitu sederhana!
Saat kami memutuskan turun, kabut masih memenuhi puncak. Udara makin dingin dan mendung mulai tebal. Awalnya jendela jok belakang jip dibuka, baru 5 menit perjalanan pak supir menawarkan menutup jendela karena rintik hujan mulai terasa. Tepat setelah kami melanjutkan perjalanan usai menutup jendela mobil, hujan turun deras sekali. Ihsan minta dipeluk, Lili yang kali ini duduk depan bersama ayah, juga merapatkan diri. Pengalaman baru kembali dirasakan anak-anak. Menuruni lereng gunung sambil mengendarai jip, di tengah hujan deras dan sesekali petir menggelegar. Jalanan basah dan pemandangan tertutup kabut. Kami melewati banyak warung yang dipenuhi pengunjung bermotor yang berteduh. Tidak berapa lama Ihsan, Lili dan ayah tertidur. Sofie masih mencari posisi yang enak untuk tidur sementara aku masih menikmati suasana. Bagaimana bisa suasana yang seakan tidak menguntungkan ini malah terasa sempurna?















