Layanan Ramah Anak

sumber gambar: freepik

Beberapa hari yang lalu saya menemani Lili, anak kedua saya, ke dokter gigi. Di rahang bawah depan, ada gigi baru yang tumbuh di tempat yang tidak seharusnya. Biasanya gigi baru tumbuh di bawah gigi lama. Jadi saat gigi baru makin tinggi, otomatis dia menyundul gigi lama, lalu gigi lama akan terdorong ke atas, goyang, lalu lepas. Ketika gigi lama lepas, tentu ada ruang untuk gigi baru untuk tumbuh normal.

Gigi baru Lili tumbuh di belakang gigi lama. Sebetulnya tidak sakit dan baru banget munculnya. Karena gigi baru tumbuhnya di belakang, gigi lama masih sehat, kokoh, dan kuat. Kalau gigi baru tumbuh makin tinggi, akan ada gigi rangkap, saya jadi khawatir ada masalah ke depannya dan secara estetika jadi kurang rapi.

Kami pergi ke klinik langganan karena bekerjasama dengan asuransi kesehatan yang kami pakai. Pelayananya bagus. Bisa membuat janji terlebih dahulu, dan jarang sekali antri. Petugasnya juga ramah. Tempatnya bersih dan biasanya lengang jadi saya merasa aman berobat di tengah pandemi covid 19.

Singkat cerita, kami datang dan segera masuk ke ruang praktek dokter gigi. Dokter giginya perempuan, relatif muda, mungkin berusia 30-40 tahun. Dia menanyakan ada keluhan apa, dan secara singkat saya ceritakan kondisi di atas. Lili diminta berbaring dan membuka mulut. Ibu dokter mengambil alat seperti tang lalu mencoba menggoyang gigi depan.

Lalu dia menjelaskan kondisi Lili yang kurang lebih seperti yang kugambarkan di awal tulisan. Intinya, gigi baru perlu tempat tumbuh sementara gigi lama masih kuat dan kokoh. Kita tidak bisa menunggu gigi lama lepas sendiri karenanya tidak ada jalan lain, selain mencabut gigi lama. Nah, biar tidak sakit, gusi mesti dibius lokal, lalu gigi lama akan dicabut paksa.

Ibu dokter menjelaskan prosedurnya kepadaku. Lili mungkin belum paham 100% penjelasan tersebut, tapi dia sudah menangkap bahwa akan ada prosedur yang perlu dilakukan dan mungkin menyakitkan.  

Saya minta waktu sebentar untuk menjelaskan ke Lili. Lili mulai menangis karena takut. Saya berusaha menjelaskan bahwa gigi baru butuh tempat untuk tumbuh. Kita harus minta agar gigi lama bersedia diambil. Kasihan gigi baru tidak bisa tumbuh dengan baik kalau gigi lama tidak dilepas.

Lili menjawab kalau dia takut. Dia tidak mau disuntik dan takut merasakan sakit.

Saya bujuk lagi dengan mengatakan akan mendampingi dan memegang tangan Lili. Biasanya kalau Lili akan melakukan sesuatu yang baru, atau saat dia takut sesuatu, dia akan merasa tenang kalau memegang tangan saya. Perawat juga menawarkan pada saya untuk memangku Lili di kursi pasien.

Lili masih takut dan menangis. Saya peluk dan berusaha menenangkan dia.

“Jangan nangis! Kan belum diapa-apain. Kakak, kan, sudah besar, masak masih nangis. Anak yang lebih kecil saja, nggak nangis, lho. Nggak boleh nangis. Ayo, harus berani. Anak besar tidak boleh nangis!” kata si Ibu dokter.

Saya sebetulnya tidak setuju dengan kalimat-kalimat dari dokter tersebut.

Kalau memang dia menganggap Lili sudah besar, kenapa tidak dia coba jelaskan ke Lili prosedur yang mesti dilakukan, tentu dengan bahasa anak-anak. Misalnya, “Lili, ini ada gigi baru yang mau tumbuh. Tapi dia tumbuh di tempat yang salah. Harusnya dia tumbuh di bawah gigi lama, ini malah tumbuh di belakang. Jadi gigi depan harus diambil. Kasihan nanti gigi lamanya kalau tidak bisa tumbuh!”

Pasti anak merasa takut, orang dewasa saja banyak, kok, yang takut disuntik. Nah, biar anak merasa lebih tenang, bisa dijelaskan prosedurnya, “Nanti akan ibu dokter bantu biar tidak terasa sakit. Gusi depannya akan disuntik obat, biar nggak terasa sakit. Lalu giginya diambil. Sebentar kok, percaya, deh, Lili belum sempat merasakan sakit, giginya sudah Ibu dokter ambil!”

Untuk mengambil hati anak kecil, mungkin bisa dibujuk, “Nanti kalau sudah selesai, Lili akan ibu kasih stiker, sebagai hadiah untuk anak pemberani!”

—-

Saya tahu bahwa ibu dokter gigi bukan dokter anak jadi mungkin dia tidak belajar secara khusus mengenai psikologi anak. Klinik ini juga klinik umum yang mungkin tidak secara spesifik memberikan layanan khusus ramah anak. Tapi, kan, ada pasien-pasien anak lain. Seberapa susah sih, berkomunikasi dengan bahasa anak? Dan berapa, sih, harga stiker, atau hadiah-hadiah kecil buat penyemangat hati anak?

Saya rasa masalahnya bukan pada ketidakmampuan berkomunikasi atau tidak adanya dana namun lebih pada belum adanya perspektif tentang layanan ramah anak. Anak-anak masih dianggap masih kecil dan tidak paham, sehingga tidak perlu diperlakukan seperti orang dewasa. Mereka masih dianggap obyek yang seharusnya penurut dan taat pada orang dewasa.

Padahal anak usia 7 tahun seperti Lili sudah bisa mendengar dan memahami percakapan dengan baik. Saat dokter menjelaskan kondisi anak pada ibu, tentunya si pasien bisa mendengar dengan baik. Saya, kok, yakin, jika dokter mau menjelaskan ke anak, dengan bahasa yang dia pahami, si anak akan merasa lebih dihargai. Jika pun si anak belum/tidak terbiasa, ini akan menjadi latihan yang baik buat dia. Bahwa dia berhak tahu kondisinya dan proses pengobatan apa yang akan dia lalui.

Selain itu, ucapan-ucapan seperti ‘tidak boleh menangis’, apakah memang demikian? Menangis adalah reaksi yang spontan, normal, dan alami. Apa iya, kalau si ibu dokter kaget atau takut akan sesuatu, tidak akan menangis karena sudah besar? Kita sebagai orang dewasa juga sering menangis. Saya pikir ucapan-ucapan bahwa ‘anak besar tidak boleh menangis’ tidak produktif dan jauh dari kesan empatik.

Daripada mengucapkan kata-kata tersebut kenapa tidak menggantinya dengan, “Kakak takut, ya? Iya memang wajar kalau Kakak menangis karena takut sakit, makanya Ibu dokter akan bantu biar tidak terlalu sakit. Obat yang mau disuntikkan ini untuk membantu Kakak agar tidak merasa sakit!”

Tentu anak akan merasa lebih nyaman dan tenang mendengar ucapan tersebut.

Selain masalah komunikasi, saya tidak menyangsikan kualitas si Ibu dokter gigi. Saat mulai tenang Lili disuntik bius lokal, gigi dicabut, dan semua proses selesai selama kurang lebih 15 menit. Cepat, tuntas, tanpa Lili merasakan sakit berlebihan. Meskipun setelahnya dia mesti menggigit kain kasa selama kuranglebih 45 menit hingga darah berhenti.

Setelah proses selesai, si ibu dokter hanya berkata, “Sudah selesai, cepat, kan? Jangan minum panas selama 24 jam. Kain kasanya perlu rutin diganti, ya, bu kalau sudah kotor. Setelah ini beli es krim aja biar darahnya cepat berhenti!”

Tidak ada afirmasi positif, misalnya, “ Wah hebat, kakak berani!”

Kapan, ya, kita bisa memiliki layanan publik yang lebih ramah pada anak?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s