Selamat Jalan, Ibu…

Rasa kehilangan ibu, tak akan tergantikan, susah diobati, dan mungkin akan terus nyeri di hati, sepanjang hayat.

myself

Ini adalah hari kesembilan ibu saya ‘pergi,’ kembali menghadap ilahi. Beliau wafat Sabtu pagi, 29 Oktober 2022 pukul 07.00 dalam keadaan yang tenang, sambil tersenyum, dengan wajah cantik berseri. Semoga itu menjadi pertanda kemudahan menjalani sakaratul maut dan beliau wafat dalam keadaan husnul khatimah. Aamiin.

Ibu sakit stroke pertama kali pada Mei 2020. Saat itu pandemi sedang gawat-gawatnya. Mudik lebaran dilarang. Jalan tol ditutup. Pulang kampung dengan melewati jalan tol 1000 km serasa pergi ke medan perang.

Saya dan keluarg menempuh ‘medan perang’ itu. Berbekal surat-surat dari dokter dan keterangan dari rumah sakit bahwa ibu saya dalam kondisi kritis, kami sekeluarga mengendarai mobil, pulang kampung. Melewati pemeriksaan pertama di sekitar tol Brebes, alhamdulillah aman. Kami jalan terus. Pemeriksaan kedua, di tol Ngawi, kami gagal. Tol ditutup rapat, kami terpaksa putar haluan. Menempuh 50-an km, kami balik lagi ke tol Sragen untuk mengambil jalan non-tol dan mencoba menembus barikade jalan biasa.

Kali ini saya bersiap lebih baik. Saat memasuki perbatasan Ngawi, mobil dicegat dan kami diminta berhenti, saya sigap menyerahkan surat-surat sambil menjelaskan kondisi ibu saya. Waktu itu tes rapid antigen masih mahal: Rp 450.000 per orang, dan kami tes untuk 5 orang. Tumpukan surat yang saya angsurkan ke petugas cukup tebal, 5 lembar bukti negatif covid, ditambah 5 lembar fotocopy dari dokter dan rumah sakit yang menjelaskan kondisi ibu saya. Alhamdulillah lolos. Kami pun melanjutkan perjalanan, dan alhamdulillah lancar hingga Banyuwangi.

Dari 2020 hingga 2022, ibu mengalami stroke berulang. Semakin lama makin memburuk. Awalnya masih bisa melihat sedikit, lalu beliau buta permanen. Paska serangan stroke pertama masih bisa duduk sendiri, latihan jalan, lama-lama makin lemah, hingga akhirnya hanya berbaring di tempat tidur. Serangan terakhir berefek pada radang parah di saluran pencernakan, beliau tidak bisa makan hingga mesti memakai selang makan melalui hidung.

Terakhir saya menemani beliau di RS, tanggal 9-14 Oktober 2022 kondisi Ibu sudah sangat lemah. Sempat koma, beliau lantas sadar meski responnya sangat lemah. Tubuh beliau sangat ringkih dan kurus. Hampir seperti tinggal tulang berlapis kulit. Kulitnya keriput, namun bersih. Sepanjang hari beliau seperti tidur, sesekali beliau mengeluarkan suara lirih.

Selama menjaga ibu, saya sering khawatir kalau tiba-tiba ibu berhenti bernafas. Setiap bangun tengah malam saya akan langsung mengarahkan pandangan ke dada beliau. Setiap melihat dada beliau yang masih turun naik, timbul lega sesaat. Namun kemudian, muncul kekhawatiran lagi.

Setiap shalat saya berdoa, agar ibu dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut, jika memang sudah waktunya ‘kembali’ atau dimudahkan untuk sehat, jika Allah masih berkenan memberikan waktu pada kami untuk merawat beliau. Bulek-bulek atau adik-adiknya ibu juga kedua kakakku berkali-kali bertanya, apakah saya sudah siap dan ikhlas jika ibu diambil Allah, saya jawab, “Insya Allah, siap!”

Tapi ketika akhirnya kabar itu datang, bahwa ibu benar-benar kembali pada Allah, entah kenapa tiba-tiba hati ini terasa begitu kosong. Kesiapan hati untuk ditinggal ibu yang kemarin rasanya sudah tertata rapi, mendadak bubrah. Dunia terasa sepi. Rumah tidak akan pernah sama lagi tanpa ibu. Mulut tiba-tiba terkunci. Energi entah menguap kemana.

Saya baru menyadari, betapa kuatnya teman-teman yang ketika dilanda kedukaan, bisa kuat hati menyampaikan berita duka tersebut melalui telefon dan media sosial. Saya kehilangan kekuatan tersebut. Tidak kuat jemari ini mengetik, bahkan sekadar menyusun kalimat Innalillahi. Hanya teman-teman yang ada janji dengan saya pagi itu yang harus saya kabari bahwa saya akan pulang kampung, ke rumah ibu walau tanpa melihat ibu lagi.

“We are going to Grandma’s house but Grandma will not be there,” kata lili yang benar-benar mewakili perasaan saya.

Dua puluh lima jam kami tempuh dari Cikarang ke Banyuwangi menaiki mobil. Lama sekali karena perjalanan siang dengan macet (serta malam hari disertai ngantuk), dan beberapa kali berhenti cukup lama di Rest Area untuk memberi kesempatan anak-anak bermain. Sepanjang perjalanan pikiran saya penuh dengan berbagai hal. Saya bertanya-tanya, bagaimana kondisi ibu saya di alam barzah. Apakah beliau dalam kondisi yang baik atau tidak. Saya menghibur hati dengan mengingat-ingat bahwa ibu saya orang baik, semoga Allah menerima amal beliau semasa hidup di dunia.

Ibu saya berusia 74 tahun saat wafat. Terkesan panjang jika dibanding rata-rata usia meninggal 60-an tahun. Tapi bagi saya, anaknya, rasanya singkat. Rasanya belum lama saya menyaksikan ibu saya yang aktif dengan berbagai kegiatan, kini semua tinggal kenangan.

Hal-hal baik yang saya catat dari ibu saya adalah beliau orang yang mandiri. Sejak kecil suka belajar dan selalu mendapat nilai-nilai bagus di sekolah guru PGA. Saat masih muda beliau sudah merantau ke Malang dan sesekali berkunjung ke Wonogiri, tempat nenek saya (atau ibunya ibu) berasal. Lulus PGA langsung menjadi guru PNS.

Setelah lama mengajar dan menjadi Penilik Sekolah SD beliau melanjutkan sekolah hingga S1. Saya ingat di tahun-tahun 2000-an ibu bersikukuh belajar mengetik menggunakan komputer, mempelajari excel, dan mengoperasikan printer. Saat banyak teman seusia beliau memilih ‘skripsi pesanan’, ibu mengerjakan semua sendiri. Dan terbukti, beliau bisa dan terampil menggunakan komputer.

Setelah pensiun, beliau aktif dengan berbagai kegiatan. Mengurus koperasi, mengisi pengajian, menjadi pengurus Aisyiyah dan menjadi instruktur senam tera. Hampir seluruh pelosok Jawa beliau sudah jejaki. Berbagai tempat wisata di Jawa Timur, banyak lokasi di Jawa tengah dan Jogjakarta, dan sebagian di Jawa Barat sudah pernah beliau datangi. Kalau semua lokasi itu didaftar dan dibandingkan dengan daftar tempat wisata dalam negeri yang sudah pernah saya datangi, mungkin saya kalah. Kemungkinan besar daftar ibu akan lebih panjang dibanding dengan daftar miliik saya.

Dan satu kelebihan besar ibu saya yang ingin sekali saya contoh, yaitu membiayai dirinya sendiri hingga akhir hayat. Sejak menikah, ibu berkontribusi besar dalam finansial keluarga. Setelah pensiun, ibu juga memenuhi kebutuhan diri dengan uang pensiun. Bahkan saya yang sudah berumah tangga saja masih sering mendapat support finansial dari beliau. Sampai sebelum meninggal ibu masih menjadi sumber nafkah bagi 2 orang asisten rumah tangga.

Hingga akhir hayat beliau nggak punya utang, sebaliknya memiliki beberapa piutang. Sedekahnya banyak. beliau juga gampang sekali memberikan kontribusi amal jariyah melalui pembanguanan berbagai sarana dan prasarana amal usaha Muhammadiyah.

Semoga semua amal dan kebaikan ibu menjadi penerang jalan beliau di alam barzah.

Selamat jalan, Ibu. Semoga Ibu tenang di sana. Insya Allah kita akan bertemu di masa depan. Semoga dalam kondisi yang baik dan bahagia!

Berikut foto-foto mendampingi ibu di awal-awal pandemi covid 19

Advertisement

One thought on “Selamat Jalan, Ibu…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s