Penulis lepas, ibu 3 anak, lahir di Banyuwangi, pernah tinggal di Yogyakarta, Magelang, Palu, Jakarta dna Norfolk (USA). Mantan wartawan Ummi dan kini masih menjadi editor lepas majalah Colours Middle East. Saat ini tinggal di Cikarang, Bekasi.
Saya menginap di Meotel tgl 26-27 Desember 2022. Awal booking nggak punya ekspektasi lebih karena dari harga terasa bersahabat. Sejak memasuki pintu lobi utama, langsung terkesan dengan dekorasi bertema Indian dengan tenda kain, tungku memasak, dan kotak selfie menarik. Juga kotak telephone merah yang menjadi khas kota London. Anak-anak langsung senang bisa bermain mesin retro game (ding dong) yang masih berlokasi di ruangan yang sama. Lalu kami ke lobi ruang pertemuan yang menyajikan aneka jenis permainan: sepakbola meja, catur, karambol dan golf mini.
Banyak kursi dan tempat duduk untuk bersantai, tidak hanya di lobi utama, tapi juga di ruang santai tiap lantai. Kamarnya bersih dan rapi. Saya suka dekorasi meja panjang dengan background hiasan dinding pohon. Di kamar ada tempat tidur, televisi, meja panjang, kotak penyimpanan (safety box), rak baju terbuka dengan alas kayu untuk menyimpan barang, telfon, dan seperangkat teko listrik, teh, kopi, dan 2 botol air putih.
Sarapannya enak dan lengkap. Ada makanan lokal seperti tumis pepaya muda, mendoan, juga makanan Indonesia pada umumnya seperti nasi goreng, mie, gado-gado, bubur ayam, soto,dan ketan hitam. Tersedia juga western breakfast seperti roti, sereal, omelet, sosis, kentang wedges, spaghetti krim, macam2 roti, jus, buah, salad, dan aneka puding. Puas sekali makan berbagai macam. Karena hanya dapat jatah makan untuk 2 orang jadi saya nambah bayar untuk 2 anak masing-masing Rp40.000.
Kolam renangnya juga luas. Ada dua kolam, satu untuk anak-anak dengan kedalaman 60m. Satu kagi kolam dewasa dengan kedalaman 130 dan 160cm. Kita bisa meminjam handuk renang dengan gratis. Oya kolam renang ini berlokasi di dekat basement hotel.
Di dekat kolam permainan anak sederhana. Ada kolam ikan dengan dua saung untuk duduk-duduk Juga tersedia sand room atau ruang bermain pasir.
Pada awalnya saya rada kecewa karena tidak bisa early check-in dan saat sampai jam 12.30 masih blm bisa masuk kamar.Kami baru bisa masuk kamar menjelang jam 14.00. Tapi secara keseluruhan saya puas dengan Meotel. Kalau kembali ke Purwokerto saya akan kembali menginap di sini. Rencananya mau coba juga Meotel yang di Jember.
Setiap akhir semester, santri-santri di Peacesantren Welas Asih (PWA) wajib membuat project dengan model design of change FIDS (Feel, Imagine, Do, and Share). Selama tiga tahun ini nyantri di PWA, Sofie (anak pertema saya) pernah membuat kelas Bahasa Inggris (mengajar Bahasa Inggris dengan metore Read Aload), pernah juga buat buku makanan Sunda, juga membuat program Pen Pal beberapa saat yang lalu.
Semester ini, dia membuat proyek yang lebih besar dan ‘ambisius.’ Dia membuat ‘mesin’ game ‘dingdong’ yang seperti di mall-mall itu lho, yang kalau mau main mesti masukin koin. Tapi bedanya, koinnya pake sampah (botol platik dan sampah plastik lain). Karena prosesnya rumit dan butuh teknologi tingkat tinggi, dia baru membuat prototype atau contohnya saja. Jadi ‘kotak’ mainnya sudah ada, layar TV dan game seperti Play Station juga sudah tersdia, hanya saja prosesnya masih manual. Seharusnya kan masukin sampah, lalu peserta klik tombol untuk bisa main, nah, kalau sekarang semuanya masih manual.
Maklum, ya, teman-teman, karya anak kelas 3 SMP 🙂
Tapi yang saya syukuri benar, proses Sofie mengerjakan proyek ini. Dia baca sekitar 20 jurnal berbahasa Inggris tentang gamification atau penggunaan game untuk mendorong perilaku tertentu. Dia tidak sekadar membaca ya, tapi juga membuat ringkasan dari setiap jurnal yang dia baca. Saya sampai kaget saat pembinanya mengirimkan draft proyek yang sedang dikerjakan Sofie. Padahal tidak ada kewajiban sejauh itu dari pesantren/sekolahnya. Ini murni keinginan dia sendiri, untuk memenuhi rasa ingin tahu dan keinginan belajar sendiri.
Dalam presentasi dia di bawah ini, dia ambil contoh beberapa penelitian penggunaan game dalam mengubah perilaku sekelompok orang atau masyarakat. Dari berbagai reeferensi itu, dia mengerucutkan idenya sendiri yaitu mendorong anak-anak dan remaja mengambil sampah di jalan dengan reward bermain game di mesin ini. Memang masih awal risetnya, dan masih belum sempurna hasilnya tapi alhamdulillah prototype-nya sudah menunjukkan respon positif.
Dari mana dia mendapat respon positif itu? Di presentasinya dia menjelaskan, tanggal 1 Desember 2022 lalu, PWA mengadakan pameran karya-karya santri di portofolio semester ini yang tema uatamanya seputar energi dan lingkungan. Dan karyanya bagus-bagus. Ada yang membuat kosmetik dan sabun ramah lingkungan. Ada yang menciptakan lampu emergency energi sinar matahari. Masih banyak proyek menarik lain.
Nah, kembali ke Sofie. Semua proses pengerjaan proyek, dia lakuan sendiri dengan pendampingan Abah Ambu-nya di pesantren. Dia mengumpulkan referensi sendiri, mencoba memahami kenapa orang membuang sampah, faktor-faktor yang membuat sampah menumpuk, apa yang mendorong seseorang membuang sampah di tempat sampah, dll. Dia juga merancang sendiri ‘mesin mainan’ yang dia beri nama “Arcade Game.” Selain itu, dia juga mendanai sendiri proyek ini. Hampir Rp 2 juta dia keluarkan dari tabungan yang di kumpulkan dari ‘angpao’ lebaran dan sisa uang jajan bulanan. Saya juga kaget pas saya tanya butuh support dana nggak, kata dia mau pake tabungan sendiri.
Saya terharu, saat di bagian akhir presentasinya, dia bilang, “I found experience in using my own money to fund my project, have greater independence, and practiced reading scientific publications. Most of all, the process was enjoyable and the result was satisfactory.” Dia merasa lebih mandiri dengan menggunakan uang dia sendiri untuk mendanai proyek ini. Dia juga berlatih membaca publikasi ilmiah. Dan yang paling penting, dia MENIKMATI semua proses tersebut dan merasa puas dengan hasilnya. Dan masih ingin mengembangkan proyeknya jadi lebih mendekati gambaran ideal ‘arcade’ sebagaimana di awal dia mendesain proyek ini.
Terimakasih PWA yang sudah mengantarkan Sofie pada titik ini. Mencintai pengetahuan, belajar tanpa disuruh, menemukan inisiatif tanpa embel-embel hadiah, adalah simpul-simpul penting dalam proses menuntut ilmu. Jika seorang siswa berada pada titik ini, saya, rasa, dia berada di jalan yang benar. Tinggal mendampingi dan menjadi teman diskusi yang baik, hingga semangat belajar itu terus menyala.
——–
Assalamualaikum wr wb Hello, and welcome to Sofie’s portfolio for 2022. What I made this year was an arcade game that uses disposable litter as payment. The problem that I intend to solve this year is “How to reduce littering using gamification.”
FEEL At first, I didn’t particularly care for the environment. Whenever I see litter, I didn’t pick it up and dispose it properly because I thought that it wasn’t my problem. However, later on, I noticed how much litter is in Indonesia. There is hardly any streets where you can’t see litter; they’re everywhere. But I didn’t commit any actions to preventing this, until I went to PWA and got interested in the concept of FIDS. I learned that I could still have the chance to create a change in my community. I decided to make something more ambitious and personal this year to reflect on what I learned.
To start, I researched on topics related to littering, such as the predictors of littering, and the benefits and usage of gamification.
To start off, What counts as littering? Littering, in this context, refers to the act of disposing waste improperly and outside of a receptacle (ie a trash bin or a cigarette tray).
Litter causes great negative impact in their surroundings. They are a source of contaminations and attract pests, which, by extension, attracts disease. They bring down the aesthetic value of their environment. They can also even be predictive of crime. In excess, they are costly to remove. It’s obvious that littering has no positive advantages and many disadvantages, so… Why does littering happen? According to a study in 2013, where researchers observe several sites with varying levels of cleanliness and convenience in the US, 85% of littering resulted from individual variability. The rest is resulted from environmental cues.
Places that often get heavily littered enforces the norm that littering is acceptable for the place. Litterers also excuse their behavior by assuming their litter is inconsequential, not technically litter, or that they will get cleaned up later. People also wish to dispose of their litter as fast and as easy as possible; convenience is a very prominent factor. From observation, littering rates decrease by 1% (from the original 17%) for every added receptacle. For every increase for the same amount of existing litter in an environment, littering rates increase by 2%. Littering can also become an ingrained habit and so are done unconsciously.
Who litters? There is no particular demographic who litters more than others, though research shows that there is still a slight difference in littering behavior. Men more often litter more than women, younger people litter more than older people, and smokers litter more than non-smokers. Those who don’t feel a sense of responsibility for their environment (ie for not being connected to the local community or as an incentive to rebel) also tend to litter.
However, there is a chance that the differences can be overestimated, because different demographics are more blunt about their littering behavior. This could be due to multiple reasons, like a sense of shame from littering or excusing their behavior.
IMAGINE To solve this problem, I wanted to utilize the elements of gamification. Gamification is the application of game-based features (for example: leveling up, achievements, or a leaderboard) to a non-gaming activity, with the intended result of the recipient gaining more motivation and enjoyment from the activity. Gamification is most effective when the games are entertaining and rewarding towards the player.
Foldit, an online puzzle game developed by the University of Washington, is a good example of the sheer potential of gamification. The objective of the game was to fold protein structures as perfectly as possible. High scoring solutions are analyzed to see if they are applicable to the relevant proteins. In 2011, a Foldit puzzle was created to help decipher the crystal structure of the retroviral protease from Mason-Pfizer monkey virus. The mystery of M-PMV, a virus that causes symptoms similar to HIV and AIDS, was unsolved for 15 years. Guess how long Foldit players solved it in the three weeks it was available? 10 days. Foldit was included in many scientific publications due to its accomplishments. Players were found to be able to build structures more accurately than crystallographers and automated model-building algorithms.
I wanted to create a convenient, yet fun way to dispose of litter in hopes of reducing littering rates.
IF the arcade game is fun and enjoyable, THEN there would be significantly less litter in PWA and littering behavior decreases BECAUSE the entertainment from the arcade game is motivating and rewarding enough to decrease littering.
I made the machine brightly colored and gave it accompanying instructions for easy access. I will currently target students of PWA, but if I plan to cater to a wider audience in the future, I want to target mostly children and teens.
DO First, I commissioned a local woodworking business to create the structure for the arcade machine. The structure is made out of MDF wood and features a cabinet in the bottom to store the litter, with a key and lock. Here is the total price. All of the funding coming from my own savings. The game console itself was borrowed from Ambu Liesna.
Here is the timeline. This project is neither cheap nor easy, but the result was more than satisfactory.
I would like to thank Ambu Liesna for being my mentor and of great help towards my project, Ambu Faizah, Abah Sakti, and Abah Iqin for their assistance, and my parents for their great support.
SHARE I shared this project on December 1st with an audience of 7th and 8th graders of PWA. The response was greatly positive.
Multiple people wanted to play it, though not all got the chance. I used a game console that compiles more than 600 games in it, meaning that people would spend time looking for a game they want to play, adding to the time they would be playing. There’s also the occasion where they had no idea how to play. In the future, I would like to limit how many games can be played to minimize this problem.
There was also no available container for the trash, and multiple participants were unsure on where to dispose of the plastic. I would probably need to use signs or a visual indicator to indicate where to dispose it.
However, I would say that my project was successful. Multiple people actually left the room to search for plastic so they can play, meaning that gaming gives an effective reason for people to clean litter. But, as I did not see where they get their litter from, there is a chance that they simply found a garbage can to take plastic from, and didn’t pick up any litter. However, I think that placing the arcade machine in an area with no surrounding receptacle can minimize this problem. This is the resulting amount of plastic.
So, what’s next?
This is still a beta test. There might significant changes to the appearance or its system in the future (ie utilizing AI for automation, having original games). My vision would include making the arcade machine automated, solve the problems I mentioned earlier, and introduce elements of competition and rewards to attract more players.
I currently have no plans to share this project with any organization or to make it public, but it may happen in the future. There is also no end date for development as of now, but I want to mitigate the more prominent problems I found during Share Day. Ideally, they will be solved by the time of my graduation.
Overall, I found this project to be greatly rewarding to me. I found experience in using my own money to fund my project, have greater independence, and practiced reading scientific publications. Most of all, the process was enjoyable and the result was satisfactory. Thank you for listening to my presentation, Wassalamualaikum wr wb.
References Schultz, P. W., Bator, R. J., Large, L. B., Bruni, C. M., & Tabanico, J. J. (2013). Littering in context: Personal and environmental predictors of littering behavior. Environment and Behavior, 45(1), 35-59. Lyndhurst, B. (2012). Rapid evidence review of littering behaviour and anti-litter policies. Stirling: Zero Waste Scotland. Zaikova, A., Deviatkin, I., Havukainen, J., Horttanainen, M., Astrup, T. F., Saunila, M., & Happonen, A. (2022). Factors Influencing Household Waste Separation Behavior: Cases of Russia and Finland. Recycling, 7(4), 52. Cialdini, R. B., Reno, R. R., & Kallgren, C. A. (1990). A focus theory of normative conduct: Recycling the concept of norms to reduce littering in public places. Journal of personality and social psychology, 58(6), 1015. Douglas, B. D., & Brauer, M. (2021). Gamification to prevent climate change: A review of games and apps for sustainability. Current Opinion in Psychology, 42, 89-94. Kolosova, I. (2022). Fun and game theory as motivation in waste sorting process at an individual level. ECONOMIC SCIENCE FOR RURAL DEVELOPMENT 2022, 34.
Rasa kehilangan ibu, tak akan tergantikan, susah diobati, dan mungkin akan terus nyeri di hati, sepanjang hayat.
myself
Ini adalah hari kesembilan ibu saya ‘pergi,’ kembali menghadap ilahi. Beliau wafat Sabtu pagi, 29 Oktober 2022 pukul 07.00 dalam keadaan yang tenang, sambil tersenyum, dengan wajah cantik berseri. Semoga itu menjadi pertanda kemudahan menjalani sakaratul maut dan beliau wafat dalam keadaan husnul khatimah. Aamiin.
Ibu sakit stroke pertama kali pada Mei 2020. Saat itu pandemi sedang gawat-gawatnya. Mudik lebaran dilarang. Jalan tol ditutup. Pulang kampung dengan melewati jalan tol 1000 km serasa pergi ke medan perang.
Saya dan keluarg menempuh ‘medan perang’ itu. Berbekal surat-surat dari dokter dan keterangan dari rumah sakit bahwa ibu saya dalam kondisi kritis, kami sekeluarga mengendarai mobil, pulang kampung. Melewati pemeriksaan pertama di sekitar tol Brebes, alhamdulillah aman. Kami jalan terus. Pemeriksaan kedua, di tol Ngawi, kami gagal. Tol ditutup rapat, kami terpaksa putar haluan. Menempuh 50-an km, kami balik lagi ke tol Sragen untuk mengambil jalan non-tol dan mencoba menembus barikade jalan biasa.
Kali ini saya bersiap lebih baik. Saat memasuki perbatasan Ngawi, mobil dicegat dan kami diminta berhenti, saya sigap menyerahkan surat-surat sambil menjelaskan kondisi ibu saya. Waktu itu tes rapid antigen masih mahal: Rp 450.000 per orang, dan kami tes untuk 5 orang. Tumpukan surat yang saya angsurkan ke petugas cukup tebal, 5 lembar bukti negatif covid, ditambah 5 lembar fotocopy dari dokter dan rumah sakit yang menjelaskan kondisi ibu saya. Alhamdulillah lolos. Kami pun melanjutkan perjalanan, dan alhamdulillah lancar hingga Banyuwangi.
Dari 2020 hingga 2022, ibu mengalami stroke berulang. Semakin lama makin memburuk. Awalnya masih bisa melihat sedikit, lalu beliau buta permanen. Paska serangan stroke pertama masih bisa duduk sendiri, latihan jalan, lama-lama makin lemah, hingga akhirnya hanya berbaring di tempat tidur. Serangan terakhir berefek pada radang parah di saluran pencernakan, beliau tidak bisa makan hingga mesti memakai selang makan melalui hidung.
Terakhir saya menemani beliau di RS, tanggal 9-14 Oktober 2022 kondisi Ibu sudah sangat lemah. Sempat koma, beliau lantas sadar meski responnya sangat lemah. Tubuh beliau sangat ringkih dan kurus. Hampir seperti tinggal tulang berlapis kulit. Kulitnya keriput, namun bersih. Sepanjang hari beliau seperti tidur, sesekali beliau mengeluarkan suara lirih.
Selama menjaga ibu, saya sering khawatir kalau tiba-tiba ibu berhenti bernafas. Setiap bangun tengah malam saya akan langsung mengarahkan pandangan ke dada beliau. Setiap melihat dada beliau yang masih turun naik, timbul lega sesaat. Namun kemudian, muncul kekhawatiran lagi.
Setiap shalat saya berdoa, agar ibu dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut, jika memang sudah waktunya ‘kembali’ atau dimudahkan untuk sehat, jika Allah masih berkenan memberikan waktu pada kami untuk merawat beliau. Bulek-bulek atau adik-adiknya ibu juga kedua kakakku berkali-kali bertanya, apakah saya sudah siap dan ikhlas jika ibu diambil Allah, saya jawab, “Insya Allah, siap!”
Tapi ketika akhirnya kabar itu datang, bahwa ibu benar-benar kembali pada Allah, entah kenapa tiba-tiba hati ini terasa begitu kosong. Kesiapan hati untuk ditinggal ibu yang kemarin rasanya sudah tertata rapi, mendadak bubrah. Dunia terasa sepi. Rumah tidak akan pernah sama lagi tanpa ibu. Mulut tiba-tiba terkunci. Energi entah menguap kemana.
Saya baru menyadari, betapa kuatnya teman-teman yang ketika dilanda kedukaan, bisa kuat hati menyampaikan berita duka tersebut melalui telefon dan media sosial. Saya kehilangan kekuatan tersebut. Tidak kuat jemari ini mengetik, bahkan sekadar menyusun kalimat Innalillahi. Hanya teman-teman yang ada janji dengan saya pagi itu yang harus saya kabari bahwa saya akan pulang kampung, ke rumah ibu walau tanpa melihat ibu lagi.
“We are going to Grandma’s house but Grandma will not be there,” kata lili yang benar-benar mewakili perasaan saya.
Dua puluh lima jam kami tempuh dari Cikarang ke Banyuwangi menaiki mobil. Lama sekali karena perjalanan siang dengan macet (serta malam hari disertai ngantuk), dan beberapa kali berhenti cukup lama di Rest Area untuk memberi kesempatan anak-anak bermain. Sepanjang perjalanan pikiran saya penuh dengan berbagai hal. Saya bertanya-tanya, bagaimana kondisi ibu saya di alam barzah. Apakah beliau dalam kondisi yang baik atau tidak. Saya menghibur hati dengan mengingat-ingat bahwa ibu saya orang baik, semoga Allah menerima amal beliau semasa hidup di dunia.
Ibu saya berusia 74 tahun saat wafat. Terkesan panjang jika dibanding rata-rata usia meninggal 60-an tahun. Tapi bagi saya, anaknya, rasanya singkat. Rasanya belum lama saya menyaksikan ibu saya yang aktif dengan berbagai kegiatan, kini semua tinggal kenangan.
Hal-hal baik yang saya catat dari ibu saya adalah beliau orang yang mandiri. Sejak kecil suka belajar dan selalu mendapat nilai-nilai bagus di sekolah guru PGA. Saat masih muda beliau sudah merantau ke Malang dan sesekali berkunjung ke Wonogiri, tempat nenek saya (atau ibunya ibu) berasal. Lulus PGA langsung menjadi guru PNS.
Setelah lama mengajar dan menjadi Penilik Sekolah SD beliau melanjutkan sekolah hingga S1. Saya ingat di tahun-tahun 2000-an ibu bersikukuh belajar mengetik menggunakan komputer, mempelajari excel, dan mengoperasikan printer. Saat banyak teman seusia beliau memilih ‘skripsi pesanan’, ibu mengerjakan semua sendiri. Dan terbukti, beliau bisa dan terampil menggunakan komputer.
Setelah pensiun, beliau aktif dengan berbagai kegiatan. Mengurus koperasi, mengisi pengajian, menjadi pengurus Aisyiyah dan menjadi instruktur senam tera. Hampir seluruh pelosok Jawa beliau sudah jejaki. Berbagai tempat wisata di Jawa Timur, banyak lokasi di Jawa tengah dan Jogjakarta, dan sebagian di Jawa Barat sudah pernah beliau datangi. Kalau semua lokasi itu didaftar dan dibandingkan dengan daftar tempat wisata dalam negeri yang sudah pernah saya datangi, mungkin saya kalah. Kemungkinan besar daftar ibu akan lebih panjang dibanding dengan daftar miliik saya.
Dan satu kelebihan besar ibu saya yang ingin sekali saya contoh, yaitu membiayai dirinya sendiri hingga akhir hayat. Sejak menikah, ibu berkontribusi besar dalam finansial keluarga. Setelah pensiun, ibu juga memenuhi kebutuhan diri dengan uang pensiun. Bahkan saya yang sudah berumah tangga saja masih sering mendapat support finansial dari beliau. Sampai sebelum meninggal ibu masih menjadi sumber nafkah bagi 2 orang asisten rumah tangga.
Hingga akhir hayat beliau nggak punya utang, sebaliknya memiliki beberapa piutang. Sedekahnya banyak. beliau juga gampang sekali memberikan kontribusi amal jariyah melalui pembanguanan berbagai sarana dan prasarana amal usaha Muhammadiyah.
Semoga semua amal dan kebaikan ibu menjadi penerang jalan beliau di alam barzah.
Selamat jalan, Ibu. Semoga Ibu tenang di sana. Insya Allah kita akan bertemu di masa depan. Semoga dalam kondisi yang baik dan bahagia!
Berikut foto-foto mendampingi ibu di awal-awal pandemi covid 19
Apa kabar semua? Apakah ada yang kangen dengan tulisan-tulisanku? 🙂
Tiga bulan terakhir aku sedang sangat sibuk sekolah. Sebagaimana postinganku terakhir mengenai UoPeople, alhamdulillah dengan penuh perjuangan aku lolos mata kuliah English 0101 yang menjadi syarat menjadi mahasiswa UoPeople. Dan semester kemarin adalah semester pertama dari jenjang S2 Master of Education in Advance Teaching di UoPeople.
Kuliahnya seperti apa? Pasti santai ya, karena online?
I wish…
Kenyataannya?
Setiap pekan ada tugas posting topik diskusi, kurang lebih sehalaman dengan tema yang sudah ditentukan. Tidak sekadar posting seperti di FB yang bisa santai dan suka-suka kita, postingan di Forum Diskusi mesti sesuai dengan tema, memakai kaidah tulisan akademik, dengan mencantumkan referensi. Setelah posting, kita harus merespon setidaknya 3 postingan teman sekelas. Responnya juga nggak sesuka kita, ada bagian-bagian yang harus diperhatikan, misalnya apakah postingan tersebut sesuai dengan topik yang dibahas. Ada kritikan/masukan nggak, juga dengan mencantumkan referensi (jika ada).
Lalu ada tugas menulis (Writing Assignment) setiap pekan. Untuk menulis 1 paper, kurang lebih 3 halaman, aku mesti membaca referensi, setidaknya 1 referensi yang direkomendasikan instruktur, 2 referensi lain. Buat para mahasiswa yang sudah terbiasa, mungkin tugas ini relatif mudah, tapi kalau buatku. Hiks, awal-awal aku butuh 3 hari-an buat nulis satu paper.
Ini contoh tugas Writing Assignment
Satu lagi tugas pekanan, namanya menulis portofolio (Portfolio Activity). Ini semacam paper tapi ada unsur personalnya. Jadi kita merefleksikan materi yang sedang dipelajari pekan tersebut, mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, lalu membuat semacam refleksi. Awal-awal aku bingung banget ngerjain tugas ini. Karena selama kuliah di UGM, tidak ada tugas model seperti ini. Apalagi waktu itu belum kenal sama perkumpulan mahasiswa UoPeople yang dari Indonesia, jadi tidak ada tempat bertanya. Dua kali mengerjakan tugas, nilaiku 5 dan 6 dari range nilai 1-10. Alhamdulillah pelan-pelan belajar, memperbaiki tulisan, akhirnya di pekan ke-3 dan seterusnya nilai bisa naik ke 9 dan 10. Yeyey, alhamdulillah.
Kuliah di UoPeople ini jauh berbeda dengan online school yang kubayangkan atau yang biasa kita ikuti di Indonesia. Di UoPeople, setiap pekan diawali dengan Kamis. Tiap hari Kamis, semua material di unit baru bisa diakses dan semua link tugas di pekan sebelumnya otomatis tutup. Jadi yang terlewat mengumpul tugas pekan lalu, wassalam deh! Ada pengantar topik, deskripsi, tujuan, dan target yang akan dicapai di akhir unit. Lalu ada daftar bacaan, kadang hanya 3 paper/buku tapi tak jarang sampai belasan artikel, paper, buku, hasil penelitian, video. Daftar bacaan tersebut selalu berhubungan dengan tugas kuliah, baik postingan di Forum Diskusi, Writing Assignment , atau Portfolio Activity. Jadi wajib dibuka dan dibaca walaupun mungkin tidak semua kita jadikan referensi mengerjakan tugas.
Ini daftar isi setiap unit, lalu kalau di-klik ‘Learning Guide’ nya akan keluar tampilan seperti di bawah ini:
Lalu ada tugas me-review tulisan teman. Dulu, pas masih SD aku sering juga mengoreksi tugas teman sebangku, tapi biasanya sederhana, seperti hasil perhitungan, atau jawaban pendek. Tugas peer-review yang di UoPeople ini, konsepnya sama, tapi tentu lebih rumit. Setiap pekan, ada 3 tulisan teman sekelas yang harus kita review. Kita tidak bisa memilih, secara otomatis sistem di Moodle (nama aplikasi online learning yang dipakai UoPeople) akan memilihkan 3 tulisan tersebut. Di tulisan tersebut tidak boleh ada namanya, jadi kita tidak tahu tulisan siapa. Dalam me-review kita mesti merujuk pada acuan (rubric), jadi tidak seenaknya saja memberi nilai. Kita akan membaca dan memberikan penilaian, apakah tulisan teman kita sudah sesuai dengan acuan (rubric), dan jadi standar kita memberikan nilai 0-10. Selain memberikan nilai mesti kita kasih penjelasan kenapa kita berikan nilai tersebut.
Jadi kalau di total, setiap pekan ada 3 tugas menulis, 3 tugas memberikan komentar di Forum Diskusi, 3 peer-review, yang kalau ditotal ada 9 tugas. Kalau ambil 2 mata kuliah seperti semester lalu, jadi per pekan ada 18 tugas, belum ditambah alokasi waktu membaca referensi!
Rasanya, pingin nambah hari dalam sepekan. Karena 7 hari nggak cukup buat mengerjakan tugas-tugas itu. Aku pernah nggak tidur semalaman, karena semua tugas harus selesai di hari Rabu tengah malam (kecuali Portofolio bisa sampai Kamis). Sering juga aku begadang sampai jam 12 malam. Pekan lalu, karena saking pinginnya kemping, aku begadang mengerjakan tugas sampai jam 3 dini hari, tanpa tidur sama sekali, terus langsung berangkat ke Cibodas. Jadi aku tidurnya di mobil doang dalam perjalanan dari Cikarang ke Cibodas!
Rasanya tidak percaya, pas semester 1 selesai, dan aku bisa lulus dengan nilai yang jauh lebih tinggi dari yang kubayangkan sebelumnya. Yang lebih penting lagi aku bener-bener merasa belajar, aktif, dan kerja keras. Di UoPeople ini nggak ada zoom meeting, atau kelas online. Semua mahasiswa mesti aktif belajar sendiri dan mengerjakan tugas yang melalui dua proses tersebut kita belajar. Ada juga proses belajar bareng di Forum Diskusi dan peer-review. Ditambah tugas kelompok yang ‘memaksa’ mahasiswa belajar bareng dan bekerja sama.
Mengerjakan tugas kelompok itu tantangannya juga bermacam-macam, lho. Di antaranya teman-teman dari berbagai negara yang beda zonasi waktu. Sebagai contohnya, jam-nya tidur di Indonesia adalah waktu siang di Amerika. Kondisi mereka juga beragam, rata-rata pekerja yang artinya di hari dan jam kerja pasti mereka sibuk bekerja. Ada juga teman yang sedang sakit, sedang hamil, sedang di luar kota, dan masih banyak lagi. Semua tantangan itu harus dikompromikan agar tugas kelompoknya bisa selesai dikerjakan. Tapi, asyik, sih, kita jadi lihat bahwa setiap kerja kelompok pasti ada juga orang yang inisiatif, rajin, pasif, dan mereka yang hanya datang menjelang tugas dikumpulkan. Hehe.
Yang paling aku sukai dari UoPeople ini, kurikulumnya bagus, mencakup semua aspek dari mata kuliah tersebut. Perspektifnya luas, tidak terbatas satu sudut pandang tapi dari berbagai sisi. Teman-teman kuliahnya dari berbagai belahan dunia, sehingga kita bisa melihat praktek pendidikan di tiap negara. Instukturnya rajin (ini tergantung mata kuliah, sepertinya, tapi alhamdulillah 2 mata kuliah yang kuambil kemarin, instrukturnya rajin dan merespon dengan cepat jika ada masalah). Sistemnya bagus, meskipun tugas kuliahnya banyak dan berat, pada dasarnya bisa diikuti karena semua instruksi dan aturannya jelas.
Tapi memang berat banget. Buat ibu rumah tangga, yang sesekali ngajar les English di rumah, aku keteteran banget. Sejak kuliah di UoPeople, nggak pernah ada waktu nonton Drakor santai-santai. Hehe. Jarang masak. Jarang ikut kumpul-kumpul acara RT. Semua waktu kupakai unuk membaca referensi dan mengerjakan tugas kuliah.
Makanya, ketika pekan ini ada libur sepekan, rasanya senang banget. Baru terasa bahwa waktu luang itu berharga. Kangen Drakor, akhirnya nonton Twenty Five Twenty One, baru sampai episode 4. Salah satu pesan dari drakor ini adalah selalu semangat, jangan takut bermimpi, jangan menyerah pada kegagalan. Kok, nyambung dengan pengalaman kuliah di UoPeople semester lalu.
Terus terang, lho, tidak mudah mengerjakan tugas bejibun, dengan segala kesibukan di rumah. Kadang aku down,ngapain, sih, kok cari susah sendiri. Kuliah juga tidak ada yang nyuruh, bayar sendiri lagi! Kalau malam kurang tidur, pagi-pagi mesti sudah bangun dan ngerjain tugas lagi. Tidak bisa santai-santai. Sudah gitu, nilai-nilai kadang jelek.
Sering juga sudah baca paper berkali-kali, tetap nggak paham. Kenapa, sih, susah sekali memahami Bahasa Inggris. Atau mengerjakan tugas menulis, bahasanya belibet, akunya yang nulis aja susah paham gimana yang baca. Rasanya, seperti orang yang paling bodoh di dunia karena nggak paham isi tugas, ngerjain tugas sederhana aja butuh waktu lama, dan waktu semakin pendek.
Yang aku syukuri, seperti tokoh Na Hee-Do yang bermain anggar karena suka, aku juga belajar karena suka. Meskipun aku ngomel-ngomel, kadang nangis karena nggak paham-paham juga dengan maksud tugas, bahan bacaan, dan stuck saat nulis, tapi nanti aku pasti bangkit lagi. Coba lagi. Nulis lagi, pelan-pelan. Sampai akhirnya selesai juga tugas satu persatu. Dan tiap selesai satu tugas, ada sebuah kebahagiaan tersendiri.
Dua pekan yang lalu, saat aku kena covid, itu juga perjuangan banget mengerjakan tugas kuliah. Jadi di UoPeople ini aturan untuk minta perpanjangan waktu mengerjakan tugas, rumit sekali. Mesti melampirkan surat keterangan dokter. Suami sebetulnya sudah berkali-kali menyarankan untuk ijin, tapi akunya males ngurus. Dan kubayangkan, kalaupun dapat ijin perpanjangan waktu pas pekan itu, pasti pekan depannya aku bakal kerepotan sendiri dengan tugas yang menumpuk. Jadi, di pekan aku sakit itu, kupaksakan tetap mengerjakan tugas kuliah. Kadang sambil tiduran, kadang duduk sebentar, habis itu berbaring lagi karena pusing. Kadang tidur dulu beberapa saat, terus bangun ngerjain tugas. Mungkin karena ada tekad dan kemauan, alhamdulillah selesai juga. Dan 2 tugas paling berat pekan itu mendapat nilai 9.3 dan 10. Alhamdulillah..
Aku selalu merasa menjadi muda jika sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Ini juga yang aku tangkap dari Twenti Five Twenty One, bahwa anak muda adalah mereka yang berani bermimpi, mencoba, dan tidak takut gagal. Selama tinggal di US lalu aku juga sering menyaksikan para pensiunan, umurnya sudah 50 bahkan 60 tahun, yang mulai kuliah lagi atau mencoba menggeluti bidang baru, entah karena hobi atau pekerjaan. Aku merasa orang-orang di Amerika berumur lebih panjang karena mereka selalu ‘muda’. Dalam arti berani terus bermimpi, mencoba hal baru, terus berkembang, dan dinamis. Prinsip itu yang kuikuti dan semoga bisa terus kutumbuhkan dalam diri. Bahwa tidak peduli umur berapa, tidak ada kata terlambat untuk mencoba hal yang baru, jika memang kita suka dan hal tersebut baik serta membawa kabaikan.
Mulai November ini saya resmi memulai kuliah di University of the People (UoPeople).
Adakah yang pernah mendengar tentang UoPeople? Saya pertama tahu tentang universitas ini dari videonya Nash Daily di sini dan ini. Awalnya, ya, sekedar tahu saja, tapi belakangan ini saya membutuhkan tantangan baru dan pingin sekolah lagi. Jadi setelah menimbang berbagai universitas, saya putuskan memilih universitas ini.
Apa kelebihan UoPeople dibanding yang lain? Seperti sudah dijelaskan Nash di videonya bahwa UoPeople: 100% online, free tuition (‘gratis’) dan American Accreditated University atau universitas yang sudah terakreditasi di Amerika. Saya beri tanda kutip pada kata ‘gratis’ karena UoPeople menggratiskan biaya-biaya yang biasanya dikeluarkan mahasiswa umumnya, seperti uang gedung, bayar KRS, dan lain-lain tapi kita masih harus membayar biaya dasar, yaitu:
Pendaftaran sebesar $60 atau Rp850.000.
Biaya ujian untuk Undergraduate (S1) sebesar $120 atau Rp1.700.000 serta $240 atau Rp3.400.000 untuk level Graduate atau Master Degree (S2).
Bagi mereka yang hanya ingin ikut kuliah tanpa mengikuti ujian juga bisa, dan artinya hanya perlu membayar uang pendaftaran tapi tentunya tidak bisa ikut ujian atau mendapatkan ijazah tanda kelulusan. Selain itu tersedia juga berbagai pilihan beasiswa walau tentu saja melalui proses seleksi yang ketat.
Saya mendaftar jurusan Master of Education (M.Ed) dengan perkiraan biaya sampai lulus sebesar $3180-$4140 atau sebesar Rp45-58 juta. Ketika pendaftaran kemarin saya sudah mencoba mengajukan beasiswa tapi belum lolos. Saya berencana mengajukan beasiswa lagi tahun depan.
Sebagai syarat mengikuti perkuliahan kita harus mengikuti kelas Bahasa Inggris, kecuali bagi mereka yang bisa menunjukkan bukti kemampuan berbahasa Inggris dengan melampirkan copy ijazah atau sertifikat terkait. Berikut informasi resminya:
Atau bisa juga melampirkan hasil tes Bahasa Inggris dari beberapa lembaga, sebagai berikut:
Saya sendiri memilih mengikuti kelas Bahasa Inggris karena memang ingin belajar secara langsung kelas menulis Bahasa Inggris untuk keperluan akademik.
Kelas ENGL 0101
Untuk mengikuti kelas English Foundation Course atau Kursus Dasar Bahasa Inggris dengan kode ENGL 0101 ini kita tinggal mendaftar di halaman muka UoPeople. Jadi nanti prosedurnya, setelah kita mendaftar, akan ada notifikasi di email kita yang menginformasikan ID dan password kita. Dengan ID tersebut kita bisa akses website UoPeople untuk melihat mata kuliah yang ditawarkan dan mendaftar course/kelas yang kita inginkan.
Untuk kelas ENGL 0101 ini selain mendaftarkan diri kita juga harus menyiapkan proctor (pengawas ujian). Jadi nanti di akhir perkuliahan akan ada ujian yang dilakukan secara online dengan diawasi pengawas ujian. Ada dua pilihan proctor: online atau offline. Kalau mau memakai online proctor, kita mesti mendaftar (link sudah tersedia di halaman UoPeople namun mereka berasal dari lembaga penyedia jasa proctor berbayar-bukan institusi di bawah Uopeople). sedangkan offline proctor, mesti kita cari sendiri dengan mengikuti syarat-syarat yang dicantumkan, di antaranya bukan anggota keluarga atau teman, orang yang memilik reputasi bagus, memiliki email, dan bersedia hadir mengawasi saat ujian dilaksanakan. Jika memakai jasa online proctor kita harus membayar (standarnya $25-30 per jam), sebaliknya untuk offline proctor kita dilarang membayar atau menawarkan kompensasi sejenis. Mungkin mereka khawatir jika ada bayaran akan memunculkan kemungkinan ‘kerjasama’ yang membuat hasil tes tidak bisa dipertanggungkan keasliannya.
Saya memilih offline proctor. Saya meminta rekan kerja suami saya yang juga bekerja sebagai dosen untuk menjadi pengawas ujian. Setelah orang tersebut setuju, saya mengisi form pengajuan offline proctor dengan memasukkan nama lengkap calon proctor, nomr telepon, alamat domisili, profesi dan alamat email. Setelah kita mengisi persyaratan tersebut, secara otomatis akan terkirim undangan ke calon proctor untuk menyatakan kesediaan mereka. Kalau proctor yang kita ajukan tidak menjawab/menerima email konfirmasi dari kampus UoPeople otomatis pengajuan proctor kita ditolak, yang artinya kita tidak terdaftar dalam kelas tersebut.
Saya mengalami pengalaman pahit ini. Pendaftaran saya ditolak karena masalah sepele: proctor yang saya ajukan tidak melihat email konfirmasi dari kampus. Karena tidak melihat otomatis dia tidak mengonfirmasi. Saya sendiri tidak mengingatkan calon proctor karena belum tahu prosedurnya. Setelah menerima email yang menyatakan kegagalan mendaftar kelas karena tidak ada konfirmasi dari proctor, saya baru kalang kabut. Saya segera koordinasi dengan Program Advisor (PA). Oya PA ini semacam dosen pembimbing kalau di Indonesia. Jadi dia yang akan membantu kita kalau ada masalah-masalah akademik. Kita akan mendapat PA begitu diterima menjadi mahasiswa di UoPeople. Singkat cerita PA mengabari saya kalau akan ada pembukaan pendaftaran lagi tepat 4 hari sebelum kelas dimulai. Saya pun menyambut gembira informasi tersebut, segera berkoordinasi dengan calon proctor dan mendaftar kali kedua. Alhamdulillah sukses.
Model Belajar di UoPeople
Saya baru memulai perkuliahan sejak 11 November 2021 atau 4 hari sebelum saya menulis artikel ini. Tentunya masih banyak hal baru dan saya juga masih dalam proses adaptasi. Bisa jadi tulisan ini kurang valid dan akan saya update di waktu yang akan datang. Namun setidaknya akan saya rekap proses yang saat ini saya jalani.
Model pembelajaran di UoPeople 100% online atau menggunakan sistem asinkronus. Jika sistem sinkronus berarti sistem komunikasi tatap muka di waktu yang sama maka asinkronus sistem komunikasi (baca: pembelajaran) yang dilakukan dalam waktu berbeda melalui media perantara. Media yang dipakai di UoPeople adalah Moodle. Kita tinggal join menggunakan ID dan password kita untuk website UoPeople (ID/password bisa sama bisa juga kita buat berbeda) dan otomatis kita akan terhubung dengan kelas yang kita ambil di semester tersebut.
Oya sebelum perkuliahan dimulai ada Student Orientation atau Orientasi untuk semua mahasiswa untuk mempelaajri model pembelajaran di UoPeople. Usahakan mengikuti Orientasi ini, sehingga kalian sudah siap saat perkuliahan dimulai.
Model belajar di UoPeople dibagi menjadi unit-unit, biasanya 1 course memiliki sekitar 9 unit. Satu unit diampu oleh 1 instruktur, dilaksanakan selama sepekan dan terbagi menjadi 5 aktivitas, yaitu Learning Guide, Discussion Forum, Written Assignment, Learning Journal, dan Self Quiz. Kelas (sesuai unit) akan dimulai dari Kamis sampai Rabu (waktu UoPeople).
Hari Kamis di pekan berikutnya, kelas akan membahas unit berikutnya. Artinya semua tugas di unit sebelumnya sudah selesai. Kita tidak bisa terlambat mengumpulkan tugas karena begitu berganti unit bahasannya sudah berbeda.
Saya akan bahas satu persatu deskripsi dari masing-masing aktivitas dalam satu unit.
Learning Guide (LG) berisi penjelasan topik yang dibahas dalam pekan tersebut. Ada judul unitnya, tujuan dan target di akhir pembahasan dan penugasan terkait topik tersebut.
Discussion Forum (DF) merupakan forum diskusi dari semua siswa. Instruktur akan memberikan penugasan pada semua siswa yang harus diunggah di DF. Lalu setiap siswa harus memberikan penilaian 1-10 pada 3 siswa lain dengan mengikuti panduan penilaian. Selain memberikan nilai, semua siswa juga wajib memberikan respon pada minimal 3 siswa lain. Dengan cara ini meskipun kelasnya memakai sistem asinkronus tetap ada interaksi antarsiswa.
Written Assignment (WA) merupakan penugasan menulis sesuai topik pekan itu. Kita harus mengunggah ttugas menulis dengan mengikuti panduan dari instruktur. Tugas WA kita ini juga akan dinilai oleh 3 teman lain, selain diperiksa oleh instruktur. Ada panduan sangat detil dalam memberikan penilaian, misalnya apakah tulisan tersebut menjawab pertanyaan yang merupakan tema dari WA? Ada tidaknya kesalahan tulis atau penggunaan grammar yang kurang tepat? Juga apakah susunan antarkalimat terpadu dan koheren?
Learning Journal (LJ) semacam catatan yang dibuat siswa di setiap unit. Biasanya ada panduan dari instruktur mengenai pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab dalm LJ. LJ ini merupakan proses untuk memastikan semua siswa memahami topik yang dibahas. Tugas LJ ini akan diperiksa langsung oleh instruktur.
Self Quiz merupakan latihan mengerjakan ujian. Setiap selesai 1 unit pertanyaan akan bertambah sesuai pembahasan di unit tersebut. Siswa bisa latihan menjawb pertanyaan-pertanyaan tersebut sampai ujian yang sebenarnya di akhir semester.
Jadi tidak ada kuliah langsung (sistem sinkronus) di UoPeople. Tidak ada zoom atau Google Meet. Semua bahan ada di Moodle dan bisa diakses kapan aja selama satu minggu. Respon-respon di DF dan WA juga bisa dilakukan dalam waktu satu minggu. Tapi sebaiknya tidak mengumpulan tugas di hari-hari yang mepet dengan Rabu karena artinya tidak akan cukup waktu bagi teman-teman untuk memberikan penilaian terhadap tugas-tugas kita.
Teman dari Berbagai Negara
Salah satu hal yang saya sukai dari kuliah di UoPeople ini adalah teman-teman dari berbagai negara. Di kelas ENGL 0101 yang saya ikuti, ada siswa dari Vietnam, Filipina, Bhutan, Jepang, Maroko, Nicaragua, Brazil, Bangladesh, Argentina, Afrika Selatan, Maroko, dan Haiti. Ada yang masih berumur 18 tahun dan baru mau memulai kuliah. banyak pula yang sudah selesai S1 dan mau ambil S2. Ada yang berprofesi sebagai pengacara, sarjana teknik, penerjemah, petugas kesehatan, dan lain-lain. Senang sekali mengetahui latar belakang mereka bergabung dengan UoPeople. Ada banyak cerita dan cita-cita. Dan semuanya bersemangat, ingin belajar dan menggapai sukses melalui UoPeople.
Instukturnya sendiri berasal dari Amerika tapi saat ini dia tinggal di Beijing, Cina. Saya membayangkan, posisi kami berjauhan, terpisah negara bahkan benua namun kami belajar bersama. Internet telah memupus jarak dan keterbatasan.
Untuk saat ini baru itu cerita-cerita dari UoPeople. Tunggu cerita-cerita seru selanjutnya ya…! 🙂
Ingin membacakan buku untuk anak tapi terkendala koleksi? Atau mau membelikan buku untuk hati tapi kantong tipis? Jangan khawatir, saat ini banyak website yang menyediakan buku-buku bagus dan gratis. Berikut beberapa rekomendasinya. Bisa langsung klik untuk menuju website masing-masing, ya!
Proyek buku online ini diinisiasi oleh The Asia Foundation dengan melibatkan banyak lembaga dan praktisi di Asia. Buku-bukunya dipilih dengan cermat, mewakili budaya setempat, dengan ilustrasi dan penceritaan apik, sesuai dengan usia pembaca. Tersedia buku dengan 48 bahasa (termasuk bahasa daerah), di antaranya bahasa Indonesia, Jawa, Melayu, Minangkabau, Batak dan masih banyak lagi. Tersedia juga aplikasi ini untuk memudahkan membaca e-book melalui ponsel.
Merupakan website berisi buku digital dan video membaca nyaring di bawah ‘payung’ ‘Room to Read’, organisasi nirlaba yang berkantor pusat di San Fransisco, California. Seperti Let’s Read yang menawarkan buku beragam bahasa, Literacy Cloud juga menghadirkan koleksi buku dengan 20 pilihan bahasa, di antaranya Arab, Inggris, Bahasa Indonesia, Filipino, Urdu, dan lain-lain.
Saya belum lama memanfaatkan website ini. Isinya cukup lengkap dan menarik. Ada banyak pilihan buku digital dengan pilihan 3 bahasa: Indonesia, Inggris, dan Daerah. Ada juga pilihan buku berdasar jenjang PAUD, TK, SD Kelas bawah (1-3), SD kelas atas (4-6), SMP, SMA dan Umum. Kita juga bisa memilih buku berdasar temanya, misalnya Tokoh Indonesia, Petualangan, Alam dan Lingkungan, dan lain sebagainya. Oya ada juga koleksi audio berisi rekaman pembacaan buku yang mengingatkan saya saat mendengar cerita di radio puluhan tahun silam. Ada back sound musiknya juga, lho!
Buku bacaan di website ini dibagi dalam 3 kelompok besar, yakni GLS (Gerakan Literasi Sekolah), GLK (Gerakan Literasi Keluarga), dan GLM (Gerakan Literasi Masyarakat). Kita tinggal pilih salah satu buku. Saat kita klik gambar buku, layar laptop atau hp kita akan diarahkan pada buku berbentuk PDF. Berikut tampilannya:
Website ini secara unik menyajikan cerita-cerita rakyat, khususnya asal usul suatu daerah. Di bagian atas halaman muka sudah ada pilihan 34 provinsi. Kita tinggal klik nama provinsinya dan akan muncul pilihan aneka cerita. Gambar di bawah ini adalah contoh cerita rakyat di Yogyakarta.
Website ini lebih seperti kumpulan cerita pendek (cerpen) anak. Sebagain besar (atau malah semua-saya belum baca semua) cerpen anak di website ini sudah dimuat di majalah Bobo. Saya seperti nostalgia saat membaca cerpen-cerpen di sini karena saat masih kecil saya suka sekali membaca majalah Bobo. Website ini juga bisa menjadi alternatif bacaan untuk anak usia SD yang sudah lancar membaca sendiri.
Beberapa hari yang lalu saya menemani Lili, anak kedua saya, ke dokter gigi. Di rahang bawah depan, ada gigi baru yang tumbuh di tempat yang tidak seharusnya. Biasanya gigi baru tumbuh di bawah gigi lama. Jadi saat gigi baru makin tinggi, otomatis dia menyundul gigi lama, lalu gigi lama akan terdorong ke atas, goyang, lalu lepas. Ketika gigi lama lepas, tentu ada ruang untuk gigi baru untuk tumbuh normal.
Gigi baru Lili tumbuh di belakang gigi lama. Sebetulnya tidak sakit dan baru banget munculnya. Karena gigi baru tumbuhnya di belakang, gigi lama masih sehat, kokoh, dan kuat. Kalau gigi baru tumbuh makin tinggi, akan ada gigi rangkap, saya jadi khawatir ada masalah ke depannya dan secara estetika jadi kurang rapi.
Kami pergi ke klinik langganan karena bekerjasama dengan asuransi kesehatan yang kami pakai. Pelayananya bagus. Bisa membuat janji terlebih dahulu, dan jarang sekali antri. Petugasnya juga ramah. Tempatnya bersih dan biasanya lengang jadi saya merasa aman berobat di tengah pandemi covid 19.
Singkat cerita, kami datang dan segera masuk ke ruang praktek dokter gigi. Dokter giginya perempuan, relatif muda, mungkin berusia 30-40 tahun. Dia menanyakan ada keluhan apa, dan secara singkat saya ceritakan kondisi di atas. Lili diminta berbaring dan membuka mulut. Ibu dokter mengambil alat seperti tang lalu mencoba menggoyang gigi depan.
Lalu dia menjelaskan kondisi Lili yang kurang lebih seperti yang kugambarkan di awal tulisan. Intinya, gigi baru perlu tempat tumbuh sementara gigi lama masih kuat dan kokoh. Kita tidak bisa menunggu gigi lama lepas sendiri karenanya tidak ada jalan lain, selain mencabut gigi lama. Nah, biar tidak sakit, gusi mesti dibius lokal, lalu gigi lama akan dicabut paksa.
Ibu dokter menjelaskan prosedurnya kepadaku. Lili mungkin belum paham 100% penjelasan tersebut, tapi dia sudah menangkap bahwa akan ada prosedur yang perlu dilakukan dan mungkin menyakitkan.
Saya minta waktu sebentar untuk menjelaskan ke Lili. Lili mulai menangis karena takut. Saya berusaha menjelaskan bahwa gigi baru butuh tempat untuk tumbuh. Kita harus minta agar gigi lama bersedia diambil. Kasihan gigi baru tidak bisa tumbuh dengan baik kalau gigi lama tidak dilepas.
Lili menjawab kalau dia takut. Dia tidak mau disuntik dan takut merasakan sakit.
Saya bujuk lagi dengan mengatakan akan mendampingi dan memegang tangan Lili. Biasanya kalau Lili akan melakukan sesuatu yang baru, atau saat dia takut sesuatu, dia akan merasa tenang kalau memegang tangan saya. Perawat juga menawarkan pada saya untuk memangku Lili di kursi pasien.
Lili masih takut dan menangis. Saya peluk dan berusaha menenangkan dia.
“Jangan nangis! Kan belum diapa-apain. Kakak, kan, sudah besar, masak masih nangis. Anak yang lebih kecil saja, nggak nangis, lho. Nggak boleh nangis. Ayo, harus berani. Anak besar tidak boleh nangis!” kata si Ibu dokter.
Saya sebetulnya tidak setuju dengan kalimat-kalimat dari dokter tersebut.
Kalau memang dia menganggap Lili sudah besar, kenapa tidak dia coba jelaskan ke Lili prosedur yang mesti dilakukan, tentu dengan bahasa anak-anak. Misalnya, “Lili, ini ada gigi baru yang mau tumbuh. Tapi dia tumbuh di tempat yang salah. Harusnya dia tumbuh di bawah gigi lama, ini malah tumbuh di belakang. Jadi gigi depan harus diambil. Kasihan nanti gigi lamanya kalau tidak bisa tumbuh!”
Pasti anak merasa takut, orang dewasa saja banyak, kok, yang takut disuntik. Nah, biar anak merasa lebih tenang, bisa dijelaskan prosedurnya, “Nanti akan ibu dokter bantu biar tidak terasa sakit. Gusi depannya akan disuntik obat, biar nggak terasa sakit. Lalu giginya diambil. Sebentar kok, percaya, deh, Lili belum sempat merasakan sakit, giginya sudah Ibu dokter ambil!”
Untuk mengambil hati anak kecil, mungkin bisa dibujuk, “Nanti kalau sudah selesai, Lili akan ibu kasih stiker, sebagai hadiah untuk anak pemberani!”
—-
Saya tahu bahwa ibu dokter gigi bukan dokter anak jadi mungkin dia tidak belajar secara khusus mengenai psikologi anak. Klinik ini juga klinik umum yang mungkin tidak secara spesifik memberikan layanan khusus ramah anak. Tapi, kan, ada pasien-pasien anak lain. Seberapa susah sih, berkomunikasi dengan bahasa anak? Dan berapa, sih, harga stiker, atau hadiah-hadiah kecil buat penyemangat hati anak?
Saya rasa masalahnya bukan pada ketidakmampuan berkomunikasi atau tidak adanya dana namun lebih pada belum adanya perspektif tentang layanan ramah anak. Anak-anak masih dianggap masih kecil dan tidak paham, sehingga tidak perlu diperlakukan seperti orang dewasa. Mereka masih dianggap obyek yang seharusnya penurut dan taat pada orang dewasa.
Padahal anak usia 7 tahun seperti Lili sudah bisa mendengar dan memahami percakapan dengan baik. Saat dokter menjelaskan kondisi anak pada ibu, tentunya si pasien bisa mendengar dengan baik. Saya, kok, yakin, jika dokter mau menjelaskan ke anak, dengan bahasa yang dia pahami, si anak akan merasa lebih dihargai. Jika pun si anak belum/tidak terbiasa, ini akan menjadi latihan yang baik buat dia. Bahwa dia berhak tahu kondisinya dan proses pengobatan apa yang akan dia lalui.
Selain itu, ucapan-ucapan seperti ‘tidak boleh menangis’, apakah memang demikian? Menangis adalah reaksi yang spontan, normal, dan alami. Apa iya, kalau si ibu dokter kaget atau takut akan sesuatu, tidak akan menangis karena sudah besar? Kita sebagai orang dewasa juga sering menangis. Saya pikir ucapan-ucapan bahwa ‘anak besar tidak boleh menangis’ tidak produktif dan jauh dari kesan empatik.
Daripada mengucapkan kata-kata tersebut kenapa tidak menggantinya dengan, “Kakak takut, ya? Iya memang wajar kalau Kakak menangis karena takut sakit, makanya Ibu dokter akan bantu biar tidak terlalu sakit. Obat yang mau disuntikkan ini untuk membantu Kakak agar tidak merasa sakit!”
Tentu anak akan merasa lebih nyaman dan tenang mendengar ucapan tersebut.
Selain masalah komunikasi, saya tidak menyangsikan kualitas si Ibu dokter gigi. Saat mulai tenang Lili disuntik bius lokal, gigi dicabut, dan semua proses selesai selama kurang lebih 15 menit. Cepat, tuntas, tanpa Lili merasakan sakit berlebihan. Meskipun setelahnya dia mesti menggigit kain kasa selama kuranglebih 45 menit hingga darah berhenti.
Setelah proses selesai, si ibu dokter hanya berkata, “Sudah selesai, cepat, kan? Jangan minum panas selama 24 jam. Kain kasanya perlu rutin diganti, ya, bu kalau sudah kotor. Setelah ini beli es krim aja biar darahnya cepat berhenti!”
Tidak ada afirmasi positif, misalnya, “ Wah hebat, kakak berani!”
Kapan, ya, kita bisa memiliki layanan publik yang lebih ramah pada anak?
Demi menekan penyebaran virus covid 19, pemerintah mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berlaku sejak 3 Juli 2021 hingga hari ini. Salah satu pembatasan kegiatan, mengacu pada PPKM adalah persyaratan ketat bagi calon penumpang yang ingin melakukan perjalanan menggunakan pesawat udara. Melalui tulisan ini saya ingin berbagi pengalaman menaiki pesawat saat PPKM.
Sepekan ini, saya naik pesawat dua kali yaitu tanggal 14 Agustus 2021 dan 20 Agustus 2021 dengan rute Jakarta-Banyuwangi pulang pergi. Kedua perjalanan tersebut saya menggunakan pesawat Citilink.
Apa persiapan yang perlu dilakukan?
1. Pastikan Anda sudah mendapat vaksin covid 19, minimal dosis pertama.
2. Instal aplikasi pedulilindungi di ponsel masing-masing. Buat akun dan pastikan data vaksin milik kita sudah update di aplikasi tersebut.
3. Bagi yang sudah menerima dua dosis vaksin, untuk ‘terbang’ hanya mensyaratkan tes swab antigen. Namun bagi mereka yang baru menerima dosis pertama, harus memiliki hasil tes negatif PCR. Aturan ini hanya berlaku untuk penerbangan di wilayah Jawa dan Bali. Untuk penerbangan dari dan ke luar Jawa, tetap wajib melampirkan hasil tes PCR.
4. Di bandara, silakan ketik NIK masing-masing di layar pedulilindungi, jika data vaksin, hasil PCR/antigen sudah masuk, akan tertera di layar “Anda Layak Terbang” namun jika hasil PCR/antigen belum update di aplikasi akan ada tulisan “Tidak Layak Terbang”.
5. Jika akun pedulilindungi milik Anda menyatakan “Tidak Layak Terbang”, jangan khawatir! Anda masih bisa terbang. Cari meja pengecekan/validasi data dan ikuti antrian di sana. Akan ada petugas yang memeriksa tanggal dan hasil PCR/antigen kita. Untuk PCR maksimal dilakukan 2×24 jam, antigen 1×24 jam. Pastikan tes yang Anda lakukan tidak melebihi jangka waktu tersebut.
6. Setelah rangkaian itu selesai, tinggal mengurus boarding pass pesawat. Kalau Anda membawa bagasi, mesti antri di counter check in maskapai. Kalau tidak membawa bagasi, bisa check in online di ponsel/komputer masing-masing, atau langsung print boarding pass di komputer yang tersedia bandara. Khusus di bandara Blimbingsari Banyuwangi, belum ada mesin self check in, jadi tetap harus antri di counter maskapai.
7. Instal aplikasi eHac Indonesia. Pilih akun/account, klik HAC, klik tanda tambah (+), pilih eHAC Domestic lalu masukkan data diri, alamat asal, alamat tujuan, data pesawat dan lain-lain. Jika Anda sudah mengisi data ini sebelum penerbangan, akan sangat menghemat waktu sebelum keluar bandara. Semua penumpang wajib mengisi data ini, jadi Anda akan menghemat waktu 15-30 menit jika sudah mengisi informasi tersebut.
Catatan tambahan untuk perjalanan dari bandara Soekarno Hatta, sediakan waktu 90-120 menit untuk mengurus proses validasi data PCR/antigen hingga siap boarding. Apalagi untuk jadwal penerbangan pagi dan hasil PCR/antigen kita belum muncul di aplikasi pedulilindungi. Anda akan menghadapi antrian panjang validasi data dua kali: saat masuk terminal dan menuju gate. Pintu gate juga rata-rata jauh, jadi akan butuh waktu jalan kaki 15-30 menit menuju gate masing-masing.
Penerbangan selama PPKM hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa dan anak di atas usia 12 tahun yang sudah mendapat vaksin. Bagi yang memiliki kondisi kesehatan khusus sehingga tidak bisa vaksin bisa tetap terbang dengan melampirkan bukti kondisi tersebut.
Untuk tes PCR/antigen apakah harus dilakukan di RS khusus?
Saya sempat menelpon maskapai, dan jawaban mereka: sebaiknya pilih laboratorium/RS yang masuk dalam Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Daftarnya ada di sini. Laboratorium yang ada di daftar ini aktif melakukan pembaharuan data di New All Record (NAR), jadi seharusnya secara otomatis sudah muncul di aplikasi pedulilindungi kita.
Namun kenyataannya tidak sesuai informasi tersebut. Saya sudah melakukan tes antigen di RS Mitra Keluarga Cikarang yang laboratoriumnya termasuk dalam daftar Kemenkes. Namun di hari keberangkatan, saya cek di aplikasi pedulilindungi di bandara Soekano Hatta, hasil tes antigen saya belum tercantum di aplikasi. Alhasil saya mesti ikut antrian validasi data secara manual.
Berdasar pengalaman tersebut, saat hendak balik ke Jakarta saya tidak lagi memprioritaskan laboratorium yang masuk dalam daftar Kemenkes. Kebetulan juga di Banyuwangi hanya ada satu lab yang masuk dalam daftar tersebut dan lokasinya jauh dari tempat saya tinggal. Saya mengambil tes antigen di RS terdekat. Saya sudah tahu konsekuensi harus antri di meja validasi data manual, karenanya saya sediakan waktu yang cukup. Kebetulan saat itu hanya ada satu penerbangan di bandara Banyuwangi jadi tidak butuh waktu lama mengantri. Berbeda jauh dengan pengalaman mengantri di bandara Soeta yang memiliki banyak penerbangan hingga antriannya panjang dan lama.
Apakah pesawatnya penuh?
Tergantung pesawat dan rute tujuan. Pesawat Citilink yang saya naiki berisi 30-60 penumpang. Saat perjalanan dari Jakarta ke Banyuwangi, saya duduk sendiri di satu deret dengan 6 kursi penumpang. Rata-rata tiga kursi pesawat diisi dua penumpang, jadi kursi tengah sengaja dikosongkan untuk menjaga jarak. Ada juga sederet kursi di bagian belakang yang khusus disediakan untuk isolasi penumpang yang mendadak sakit.
Selama PPKM, penumpang tidak diijinkan makan dan minum di dalam pesawat. Jadi pastikan sudah mengisi perut di rumah atau di bandara sebelum masuk pesawat.
Saya merasa aman dan nyaman menaiki pesawat udara di masa PPKM ini. Memang terkesan ribet dan banyak persyaratannya, namun saya rasa aturan itu untuk kepentingan kita semua. Dengan memastikan semua penumpang sudah vaksin dan memiliki tes PCR/antigen negatif setidaknya kemungkinan penularan covid 19 bisa dikurangi.
Yuk, ikuti aturan PPKM ini dengan baik agar kita bisa saling jaga!
Setelah 19 hari berpisah karena corona, alhamdulillah kami sekeluarga bisa berkumpul lagi di rumah. Kira-kira 16 hari yang lalu, suami saya, mas Muhammad Sigit Andhi Rahman positif covid 19 saat sedang tugas kerja ke Pekanbaru. Rencana dinas luar kota 4 hari akhirnya molor sampai 19 hari.
Selama di Pekanbaru mas Sigit sempat dirawat di RS kurang lebih 5 hari. Sempat pusing berat, diare, mual, saturasi turun hingga 92, alhamdulillah dengan bantuan tabung oksigen, saturasi normal lagi ke angka 98. Sempat juga isoman di LPMP Riau serta hampir seminggu di hotel.
Yang bikin nelangsa, sudah sempat negatif PCR pada hari ke-9 jadi kami semua bergembira menunggu ayah pulang. Anak2 dengan bersemangat membuat dekorasi seperti foto di atas. Namun apa yang terjadi? Empat puluh delapan jam kemudian hasil PCR positif lagi! Tiket pesawat terpaksa dibatalkan. Segera PCR lagi karena berharap hasil yang positif tidak akurat, namun ternyata, hasil PCR kembali positif. Tiket kedua dibatalkan lagi, dan mas Sigit mesti lanjut karantina. Kami mesti bersabar untuk bisa berkumpul kembali.
Tentu kecewa sekali mendengar hasil PCR yang sebelumnya negatif, kembali positif. Setelah membaca referensi, ternyata kasus seperti ini sering terjadi. Tes PCR memang sangat sensitif untuk mendeteksi materi genetik virus covid 19, bahkan ‘bangkai’ virus yang sidah tidak aktif turut terdeteksi. Ini pula yang menjadi alasan perubahan standar penentuan pasien bebas covid 19, yang sebelumnya mesti memiliki PCR negatif, sekarang tidak perlu PCR lagi. Cukup melewati masa isolasi 10 hari, dengan tambahan 1-3 hari tanpa perlu tes PCR lagi (kecuali pasien dengan gejala berat).
Meskipun kecewa, tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu dengan sabar. Selama seminggu kami memupuk harapan. Mas Sigit berusaha mempertahankan kondisi agar makin sehat dengan makan bergizi, istirahat cukup, olahraga, kami pun di sini tak henti berdoa. Kami sempat mempertimbangkan berbagai kemungkinan apabila hasil PCR positif lagi. Jelas tidak bisa naik pesawat karena selama PPKM, calon penumpang wajib melampirkan PCR negatif (serta sertifikat vaksin). Sementara kalau mau menunggu untuk tes, mau berapa hari lagi. Tes PCR juga tidak murah, meskipun biaya ditanggung kantor, tentu tidak bisa tiap 2 atau 3 hari tes PCR. Kalau menunggu selesai PPKM masih 10 hari an lagi yang rasanya lama banget.
Mas Sigit sempat memikirkan alternatif naik bus, tapi perjalanan Pekanbaru-Jakarta membutuhkan waktu 36 jam! Hampir 2 malam. Perjalanan darat hanya membutuhkan antigen negatif, sempat ada pertimbangan untuk tes antigen, siapa tahu hasilnya negatif. Tapi perjalanan darat sebegitu lama, dengan kemungkinan berinteraksi dg orang-orang di masa PPKM ini, rasanya bukan pilihan yang baik.
Sebagai catatan, sebetulnya kondisi mas Sigit kala itu sudah dinyatakan sehat. Pada hari pengambilan tes PCR jg sdh hari ke-16, jadi seharusnya memang sudah sehat dan tidak menularkan lagi. Karenanya kami mempertimbangkan perjalanan darat yang akhirnya juga tidak akan diambil karena berat dan kemungkinan terpapar covid lagi malah lebih besar.
Tibalah hari Sabtu, 10 Juli, jadwal tes PCR penentu. Ini mungkin biasa bagi orang lain, tapi buat kami ini penting sekali untuk menentukan kami bisa segera berkumpul lagi atau tidak. Sehari sebelumnya saya minta doa-doa terbaik dari teman dan keluarga. Malamnya saya juga sempat tidak bisa tidur, mungkin secara psikologis saya khawatir jika hasilnya tidak sesuai harapan kami. Alhamdulillah, Allah kabulkan doa-doa kami, teman dan keluarga. Hasil PCR mas Sigit negatif yang artinya bisa naik pesawat dan kembali berkumpul bersama keluarga. Kemarin, dekorasi ini kami perbaiki lagi. Balon-balonnya sudah pada meletus dan hanya menyisakan tiga.
“Welcome Home, Daddy!”
Alhamdulillah Allah masih beri kesempatan bertemu dan berkumpul kembali. Teriring doa untuk teman-teman dan keluarga yang sedang diberi ujian sakit, khususnya covid 19, semoga Allah berikan kekuatan, kesabaran, dan kesembuhan. Aamiin.
Banyuwangi memiliki destinasi yang serasa tidak habis-habis dijelajahi. Betapa beruntungnya masyarakat yang tinggal di kabupaten yang berjuluk The Sunrise of Java ini. Betapa tidak? Di ujung utara, ada Taman Nasional Baluran, yang menawarkan keindahan alami savana, hutan, serta deretan pantai-pantai berombak ringan dengan pemandangan bawah laut yang memesona. Sementara di sisi selatan, terdapat taman Nasional Meru Betiri, Alas Purwo dengan koleksi flora serta fauna yang menggoda untuk dijelajahi. Juga deretan laut-laut berpasir putih yang memukau pandangan mata.
Kali ini, saya dan keluarga menjelajahi destinasi tersembunyi. Butuh usaha yang tidak ringan untuk mencapainya, namun sepadan dengan eksotisme pemandangannya. Tempat itu adalah Teluk Hijau atau masyarakat sekitar menyebutnya Teluk Ijo.
Berlokasi di dusun Krajan, desa Sarongan, kecamatan Pesanggarana, Teluk Hijau tepat berada di balik deretan bukit terjal di sebelah Pantai Rajegwesi. Jika ingin ke sana kita mesti menuju kecamatan Pesanggaran yang berjarak kurang lebih 90 km dari kota Banyuwangi. Lokasi pantai ini searah dengan Pantai Pulau Merah, Mustika, Pancer, dan Sukamade. Wisatawan yang menuju Pantai Sukamade umumnya singgah di pantai ini.
Dari kawasan Pulau Merah, Teluk Ijo masih berjarang kurang lebih 25 meter. Ikuti saja arah yang ditunjukkan GPS hingga kita memasuki kawasan Perkebunan Sungailembu. Di kanan kiri jalan kita disuguhi pemandangan hijau segar. Ada banyak jenis pohon, tapi saya hanya mengenali pohon karet dengan bekas sayatan di batang. Di salah satu kebun terdapat informasi bahwa saat itu sedang ada penebangan pohon, oleh sebab itu pengunjung diminta berhati-hati. Sayangnya makin dekat ke pantai, jalan makin jelek. Jalan tanah berbatu dengan lubang di sana sini. Bagi pengunjung yang membawa mobil kecil rendah seperti kami, tidak ada jalan lain selain mengemudi dengan kecepatan rendah. Waktu tempuhnya jelas lebih lama, tapi lebih aman karena tidak perlu merasakan guncangan-guncangan keras kala ban melindas batu dan melintasi lubang.
Kawasan perkebunan Sungailembu
Lalu kita akan bertemu pintu gerbang Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Saat ke sana akhir Mei 2021 lalu, saya membayar tiket masuk Taman Nasional Rp32.000 untuk satu mobil, 2 dewasa, 1 anak remaja, 1 anak usia 7 tahun, dan 1 bocah balita. Biaya yang saya keluarkan terkait retribusi hanya di sini saja, kami tidak diminta membayar parkir lagi di Pantai Rajegwesi. Saat membayar tiket, pengunjung diminta mengisi buku tamu dengan mencantumkan nomor telepon genggam.
Dari pintu gerbang TNMB kami melanjutkan perjalanan ke arah pantai Rajegwesi. Bagi pengunjung yang ingin menjangkau Teluk Ijo menggunakan perahu, parkirlah kendaraan di kawasan Pantai Rajegwesi. Saat kita sampai akan terlihat perahu-perahu di pantai. Ada kedai-kedai makanan, mushola, dan toilet. Tidak perlu khawatir, tak perlu mencari-cari perahu, biasanya saat kita sampai akan ada nelayan yang menghampiri dan menawarkan jasa menyeberang. Ongkos naik perahu per orang (di saat ramai) Rp35.000 atau Rp50.000 di kala sepi.
Jika enggan membayar ongkos perahu atau takut menaiki kapal, pengunjung bisa juga mencapai Teluk Ijo dengan berjalan kaki. Lanjutkan perjalanan dari Pantai Rajegwesi hingga mencapai Teluk Damai. Dari sana lanjutkan perjalanan mendaki bukit sepanjang kurang lebih 1 km ke arah pantai Batu. Pantai Batu berada 300 m sebelum Teluk Ijo. Waktu pendakian hingga mencapai Teluk Ijo kurang lebih 1 jam.
Pantai Rajegwesi
Dua puluh empat tahun yang lalu, saya menjangkau Teluk Ijo dengan mendaki bukit. Kali ini, dengan membawa 3 anak, salah satunya balita, kami memilih menaiki perahu. Total ongkos yang kami bayar Rp200.000 satu perahu PP (pergi pulang).
Singkat cerita, kami menaiki perahu menuju Teluk Ijo. Lama perjalanan kurang lebih 15 menit. Kami mengarungi laut yang biru jernih dengan deretan bukit terjal hijau di sisi kanan. Laut terlihat dalam karena tidak terlihat dasarnya. Ombak tidak terlalu besar namun perahu tetap bergoyang-goyang. Anak saya paling kecil, Ihsan, menangis saat pertama memasuki perahu. Tangisnya makin kencang saat perahu berjalan. Setelah beberapa saat dia berhenti menangis dalam dekapan suami saya. Ini memang pengalaman kedua dia naik perahu dalam jangka waktu seminggu. Semua penumpang memakai jaket pelampung untuk keamanan.
Saya sangat menikmati pemandangan saat menyebarang menggunakan perahu. Cuaca cerah, langit berwarna biru terang. Air laut tampak jernih berkilauan. Terlihat perahu-perahu nelayan di kejauhan. Riak ombak membuat perahu bergoyang, dengan kecipak air di sana sini. Kami sekeluarga sudah memakai pakaian renang jadi tidak masalah dengan baju basah. Saat menuju Teluk Ijo, sebaiknya bawa barang secukupnya dengan tas tertutup rapat.
Sesampainya di Teluk Ijo, saya langsung terpaku dengan pemandangan yang indah memesona. Pasir pantai yang berwarna putih kecokelatan terlihat kontras dengan warna air laut biru kehijauan. Batu-batu cadas dengan hutan di sekelilingnya mengingatkan saya akan film lama, Cast Away. Saat kapal merapat sekitar pukul 10.00 pagi pantai masih sepi. Anak pertama saya, Sofie menyeletuk, “I hope we are not the only one who come here today.” Agak ngeri juga kalau sepi dan hanya kami sekeluarga di pantai ini. Soalnya seusai mengantar kita, perahu akan kembali ke Rajegwesi. Jadi terbayang jika hanya sekeluarga, apalagi sendiri, akan terasa memiliki pantai sendiri.
Tapi kekhawatiran Sofie tidak terbukti. Tak lama setelah kami sampai, datang serombongan anak muda dari arah hutan. Mereka langsung mengambil tempat di sisi utara yang penuh batu karang. Suara tawa riang dan antusiasme mereka mengambil foto terdengar dari kejauhan. Kami duduk-duduk santai, anak-anak bermain pasir dan ombak. Saya mengeksplorasi pantai. Sisi utara pantai memang spot pertama yang dijangkau pengunjung yang datang berjalan kaki. Ada batu-batu besar, dengan air jernih dan ikan-ikan kecil berenang di sana. Sisi selatan, juga dipagari dengan karang terjal. Ada air terjun yang saat itu kering. Air terjun ini hanya ada airnya di musim hujan, sekitar bulan Desember-Februari. Ada bangku-bangku untuk duduk. Tidak ada kedai makan, toilet dan ruangan berganti pakaian.
Satu lagi yang sangat penting dan mesti diwaspadai. Kawanan MONYET. Beberapa menit setelah kami tiba di pulau, mereka sudah menguasai bangku dan memandang kami penuh minat. Mas Eko, nelayan yang mengantar kami sudah berpesan, semua makanan harus disimpan rapi di dalam tas tertutup. Jangan meninggalkan tas jauh dari jangkauan, apalagi menggelar makanan. Ada banyak monyet usil dan agresif.
Untung kami membawa tas ransel dan tas makanan jinjing besar. Saya ingat baik-baik pesan tersebut. Sampai Lili kelilipan dan minta diambilkan handuk. Saat mengambil handuk, tanpa sengaja saya mengeluarkan keripik kentang yang masih dalam kemasan bersegel. Sibuk mengurus anak-anak, saya lupa memasukkan kembali keripik kentang tersebut ke dalam tas. Tidak menunggu lama, seekor monyet menyambar keripik tersebut dan ngacir diikuti kawanan mereka. Kami terpukau, kaget, sempat takut disusul tawa geli anak-anak.
“Can the monkey open the chips, Mommy?” Tanya Lili.
Saya jawab, pasti bisa. Mereka memiliki cakar tajam. Dan kemungkinan besar ini bukan pertama kali mereka mencuri makanan. Jadi pasti mereka sudah ahli membuka makanan kemasan seperti tadi.
Sesiang itu saya melihat si monyet beberapa kali mencuri sesuatu dari pengunjung lain. Bahkan ada satu tas pengunjung yang dia bongkar. Dengan lihai si monyet memasukkan tangannya ke laci-laci ransel, mencari makanan. Saat diteriaki pemilik tas, dia lari, tapi kemudian balik lagi.
Saat kami makan siang, mereka (monyet-monyet itu maksudnya) mengawasi kami dengan ‘ganas’. Seakan-akan mereka menunggu saat yang tepat untuk meloncat dan merebut makanan kami. Padahal selama kami makan, mas Sigit berdiri siaga sambil membawa pentungan kayu seukuran paha orang dewasa. Tapi mereka tidak menunjukkan raut takut sedikit pun malah balik menyeringai galak. Alhasil kami sendiri yang ‘keder’ lalu mempercepat proses makan siang dan berpindah ke area yang lebih ramai.
Makin siang, makin banyak orang datang, tambah besar juga ombaknya. Anak-anak melipir ke pinggir, hanya berani bermain air di pantai, sambil membuat istana pasir dan mengumpulkan kerang.
Menjelang jam dua belas siang, Pak Supri yang pertama kali menawari kami perahu saat di Pantai Rajegwesi datang bersama dua perahu yang penuh berisi rombongan biker. Saat perahu kembali ke Rajegwesi, Pak Supri tinggal. Beliau duduk di samping kami dan mengobrol. Beliau bapak 3 anak laki-laki yang semuanya berprofesi sebagai nelayan serta menjual jasa mengantar wisatawan ke Teluk Ijo. Mas Eko yang tadi menganatr kami adalah putra ketiga beliau. Sebelum pandemi, setiap pekan mereka bisa dapat, minimal Rp1.000.000 dari jasa sewa perahu. Tapi setelah pandemi, dapat seperempatnya saja sudah beruntung.
Mengobrol bersama Pak Supri
Untung masih ada ikan-ikan yang menjadi mata pencaharian utama mereka. Bulan Mei-Juni ini musim ikan lemuru dan tongkol. Mereka biasa melaut malam hari. Di pantai sudah ada tengkulak yang menyambut dan membeli ikan-ikan mereka, jadi tak perlu repot menjual ikan ke pasar.
Menurut Pak Supri, setiap tanggal 1 bulan Hijriyah, ombak tinggi. Jadi perahu tidak berani mengantar wisatawan ke Teluk Ijo.
Setiap tanggal satu kalender bulan (Hijriyah) ombak tinggi jadi tidak aman ke Teluk Hijau menggunakan perahu
Pak Supri (pemilik perahu di Pantai Rajekwesi)
Pak Supri juga memberikan informasi bahwa laut di Teluk Ijo ini relatif aman untuk berenang asal tidak sampai ke tengah. Namun, wisatawan juga mesti memperhatikan ombak, jika makin tinggi sebaiknya segera menepi. Sebab beberapa saat lalu, ada 6 remaja tenggelam karena berenang dari jam 7.00 pagi hingga pukul 02.00 sore. Tiga di antara mereka ditemukan selamat, 3 yang lain meninggal karena terseret ombak. Jadi penting sekali untuk berhati-hati. Teluk Ijo ini tidak memiliki sarana prasana keselamatan. Tidak ada penjaga pantai juga. Tiap pengunjung mesti menjaga diri sebaik-baiknya. Jika ombak sedang tinggi sekali, biasanya pantai ditutup untuk wisatawan.
Sekitar pukul 01.30 siang kami kembali ke Pantai Rajegwesi. Kali ini, yang mengemudi adalah Mas Imam, putra kedua Pak Supri. Sampai sana kami makan di kedai milik keluarga Pak Supri lalu mandi dan bersiap shalat. Harga makanan di pantai Rejegwesi relatif normal (tidak semahal biasanya di tempat wisata). Kami makan satu porsi mie ayam, 2 porsi popmie, dan satu kelapa utuh seharga (total) Rp36.000.
Ini beberapa tips saat berkunjung ke sana:
Jika ingin menaiki perahu dan hendak bermain air di pantai, sebaiknya memakai baju renang sebelum naik perahu. Karena baju kemungkinan juga basah terkena cipratan air.
Tidak perlu membawa baju ganti ke Teluk Hijau, karena tidak ada ruangan berganti pakaian di sana. Baju ganti tinggalkan saja di pantai Rajegwesi.
Bawa barang secukupnya (makanan, minuman dan beberapa barang penting) dalam tas tertutup. Lebih baik jika memakai ransel.
Saat di Teluk Ijo, letakkan barang di dekat tempat duduk. Jangan tinggalkan jauh-jauh karena bisa dibongkar oleh si monyet. Pastikan kunci, dompet, dan barang-barang penting lain tersimpan rapi dalam kantong dalam tas. Sebab monyet bisa mengambil barang di kantong depan dan samping tas. Bayangkan kerepotan yang terjadi jika kunci motor atau mobil dicuri si monyet!
Bisa membawa tikar lipat kecil untuk alas meletakkan barang dan tempat duduk di dekat pantai.
Bawa plastik sampah, sebaiknya sampah di bawa kembali ke Rajegwesi. Ada tempat sampah di Teluk ijo tapi sepertinya tidak rutin dibersihkan sehingga saat saya ke sana tempat sampah terguling dan sampah-sampah berserakan.
Jika ingin lebih aman masukkan ponsel atau kamera di dalam plastik (lebih baik plastik khusus kamera atau ponsel) agar terlindung dari air dan pasir. Plastik ini juga bermanfaat untuk melindungi ponsel saat mengambil foto atau video di atas perahu juga saat tiba-tiba ombak menerjang pantai.
Jadi, kapan kamu berkunjung ke Teluk Hijau? Kalau mau ke sana bisa kontak mas Imam dulu untuk tanya cuaca dan bisa pesan perahu. Kalau butuh nomor hp Mas Imam, boleh komen atau tanya melalui email ya: aini.firdaus@gmail.com.
selamat menikmati keindahan ‘surga’ tersebunyi di Banyuwangi!