Snorkeling di Pantai Bangsring

Arti snorkeling menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah selam permukaan. Memang sesui arti kata tersebut, snorkeling adalah aktivitas mengapung di laut sambil melihat ‘isi’ bawah laut dari permukaan air melalui kacamata google. Kacamata google ini sudah didesain khusus jadi hidung kita dijepit ke dalam hingga mau tidak mau kita mesti bernafas melalui mulut. Nah, aktivitas menghirup dan membuang nafas ini akan terjadi melalui selang snorkel yang kita gigit di dalam mulut. Dengan begitu, muka kita bisa bertahan lama tanpa perlu keluar masuk permukaan air.

Ngapain, sih, pakai menjelaskan aktivitas snorkeling segala?

Ya, kan, siapa tahu ada yang belum tahu ^_^

Oke, lanjut. Jadi ceritanya, akhir pekan lalu kami sekeluarga jalan-jalan ke pantai yang berjuluk Bangsring Underwater. Dari rumah ibuku didekat kota Jajag, membutuhkan waktu 2 jam menuju sana. Bangsring sendiri berlokasi di jalan Situbondo-Banyuwangi. Ikuti saja GPS, tempatnya mudah ditemui. Tapi hati-hati saat sudah masuk ke lokasi, sebelum menuju pantai, kita akan diminta belok kiri oleh GPS. Ikuti saja petunjuk tersebut, sebab jika kita nekad lurus malah masuk ke pantai lain dan mesti bayar retribusi Rp10 ribu. Saat saya di sana ada seorang ibu yang mengeluh pada penjual hotdog, “Ternyata pengelola pantai yang sana (si ibu menunjuk arah pantai sebelum Bangsring) beda dengan yang sini, ya, pak? Saya tadi sudah masuk sana dan bayar Rp10 ribu, eh ternyata bukan Bangsring yang saya tuju!”

“Iya, pengelolanya memang beda, bu. Kalau masuk sini, mesti bayar lagi. Banyak yang kesasar ke sana, sudah bayar, masuk sini harus bayar lagi karena beda pengelola,” jawab si Bapak penjual hotdog.

Retribusi masuk Bangsring sangat murah, hanya Rp5000 per orang. Sebelum masuk area, pengunjung wajib memakai masker dan mencuci tangan. Setelah membayar tiket kita akan disambut taman yang rindang. Ada aula luas di depan, juga beberapa gazebo kecil bagi pengunjung yang ingin duduk-duduk santai. Sebelum sampai pantai kita akan menemui bangunan kecil dengan jaket-jaket pelampung di sampingnya. Di sini tempat kita menyewa peralatan snorkeling.

Berikut biaya sewa alat dan jasa

Pelampung dan alat snorkelingRp 30 ribu
Sewa jasa guideRp 40 ribu
Sewa kamera bawah lautRp 150 ribu

catatan: jaket pelampung tersedia untuk semua usia, bahkan anak balita. Sebaiknya semua anggota keluarga mencoba jaket pelampung dan google terlebih dulu untuk memastikan ukurannya cocok. Oya, bisa juga menyewa jaket pelampung saja tanpa google dnegan harga yang lebih murah.

Tak jauh dari sana, terlihat laut biru terharmpar luas. Pasir di pantai ini berwarna hitam berbatu. Hati-hati saat Anda melangkah tanpa sandal karena terkadang ada batu runcing yang bisa melukai telapak kaki. Di pantai ini, kita bisa main pasir dan berenang. Di sekelilingnya juga banyak kedai makanan.

Saya biarkan dulu anak-anak main pasir dan berenang. Setelahnya kami sewa alat dan bersiap snorkeling! Saya memutuskan menyewa jasa guide karena kami bawa tiga anak (dua di antaranya berencana snorkeling). Menurut pengelola, guide juga akan menunjukkan spot-spot menarik. Saya jadi tergoda menyewa kamera guide juga akan membantu mengambil foto bersama ikan-ikan dan terumbu karang. Wah, asyik!

Petualanganpun dimulai. Kami membayar ongkos naik perahu sebesar Rp5 ribu per orang. Lalu kami menuju dermaga, dan menaiki kapal ke rumah apung yang berjarak kurang lebih 20 meter dari pantai. Di rumah apung ada beberapa ruangan untuk duduk-duduk santai. Di sekelilingnya terlihat ikan-ikan berenang jinak, sebagian mengerubungi potongan-potongan roti tawar yang dilempar pengunjung. Roti tawar tersebut memang sengaja disediakan pengelola seharga Rp10 ribu per bungkus.

Kami bersiap snorkeling. Pak Ipin, pemandu kami, menjelaskan penggunaan kacamata google.

“Tarik karetnya ke belakang kepala, pastikan rapat. Setelah itu turunkan kaca menutupi mata dan hidung. Lalu bagian yang ini (pipa snorkel) dimasukkan ke dalam mulut dan gigit. Selama snorkeling jangan bernapas menggunakan hidung. Nafasnya pakai mulut seperti ini,” ujar Pak Ipin sambil menyontohkan cara memasang kacamata dan bernapas mulut menggunakan snorkel. (snorkel adalah set pipa udara berbentuk J)

Lalu kami masuk ke air bergantian.

Tiba-tiba ada yang sesenggukan. Lili menangis. Rupanya dia takut. Padahal sejak semalam sebelumnya dia yang paling bersemangat dan tidak sabar bersnorkeling pertama kali. Saya minta Lili tenang dan menunggu di atas bersama ayah dan Ihsan.

Saya dan Sofie turun dan langsung snorkeling. Wuih, kami langsung disambut ikan-ikan. Ikan yang jumlahnya banyak yakni ikan biru bergaris, Pak Ipin menyebutnya ikan ‘sersan’. Lalu ada satu dua ikan berukuran besar, pipih, berwarna putih, bernama Pomacentrus amboinensis. Selain itu banyak jenis ikan lain yang saya tidak tahu namanya. Sayang, ya. Kubayangkan, akan lebih menarik jika pengelola memiliki daftar ikan (disertai gambar) di perairan Bangsring. Mungkin nggak perlu semua jenis ikan, tapi ikan-ikan yang jumlahnya banyak dan relatif sering ditemui saat snorkeling. Jadi pengunjung bisa mengetahui beberapa jenis ikan tersebut. Jika ada informasi tambahan tentang masa hidup, habitat, dan lain-lain tentu lebih menarik. Jadi pengunjung bisa sekalian belajar ekosistem perairan. Mungkin ke depan bisa dikembangkan model pengelolaan wisata edukasi seperti ini.

Rasanya tak bosan-bosannya melihat ikan-ikan yang hilir mudik. Sepertinya di sekitar rumah apung ini lautnya relatif dalam, hingga tidak terlihat dasar laut dan terumbu karangnya. Saat tidak terlihat ikan, tidak terlihat apa-apa. Sofie, setelah snorkeling becerita, kalau dia merasa canggung dan takut saat snorkeling. Tak heran jika dia menempel dan terus memegang tangan saya. Maklum ini juga pengalaman pertama dia snorkeling.

Di awal-awal Sofie juga kesulitan bernapas pakai mulut. Karenanya berkali-kali kacamatanya berembun atau kemasukan air.

“Apalagi jika cemas dan takut, rasanya sulit konsentrasi bernapas menggunakan mulut,” kata Sofie.

Selain menikmati pemandangan ikan-ikan yang hilir mudik, Pak Ipin juga mengajari kami menyelam singkat, dengan berpegangan di tangga rumah apung. Saya melepaskan pelampung dan snorkel, lalu menyelam singkat sambil memberi makan ikan. Jadilah foto yang ciamik bersama ikan-ikan yang menawan.

Petualangan berlanjut dengan berenang ke area yang memiliki terumbu karang mempesona yang berjarak kurang lebih 5 meter dari rumah apung. Di sana jelas sekali terumbu-terumbu karang beraneka bentuk dan warna. Sayang sekali tidak ada program eduksi untuk mengenali jenis terumbu karang dan namanya. Seandainya sebelum snorkeling pengunjung bisa melihat jenis-jenis terumbu karang, bentuk dan warnanya tentu akan lebih menarik. Jadi sembari melihat-lihat kita bisa mengenali terumbu karang yang keras dan lunak, yang bentuknya lebar, runcing, dan lain-lain.

Di spot yang penuh terumbu karang kami juga melakukan penyelaman singkat. Pak Ipin mengajari tekniknya. Kami tahan napas, didorong masuk ke dalam air, lalu pegangan tali dan pengait yang ada di dasar laut, lalu melihat-lihat terumbu krang dari dekat, berfoto, dan kembali ke permukaan. Saya cuma bisa menyelam singkat, mungkin hanya 1 menit atau lebih sedikit di kedalaman sekitar 5 metar. Rasanya telinga sudah sakit. Tidak terbayang, ya, kejadian kapal Naggala 402 yang berada di kedalaman 800 meter lebih. Tapi pengalaman menyelam singkat itu sungguh berkesan. Betapa dunia bawah laut itu penuh misteri namun memesona. Ingin rasanya menyelam lebih lama dan menikmati keindahan bawah laut lebih luas.

Selanjutnya kami berenang di laut, bermain dengan ikan-ikan, melihat ikan hiu jinak di ‘kolam’ berukuran 3×3 meter. Ihsan dan Lili senang sekali memberi makan ikan. Lili yang awalnya menangis, saya bujuk untuk berenang. Begitu merasakan asyiknya berenang di laut, dia malah enggan berhenti. Setelah puas snorkeling dan berenang di skeitar rumah apung, kami kembali ke pantai dan anak-anak menikmati main pasir dan berenang lagi.

Beberapa tip jika ingin ke Bangsring Underwater:

  1. Datanglah lebih awal. Lokasi buka jam 7.30 pagi. Pekan lalu saya datang jam 8.30 pagi dan masih relatif sepi. Baru ada sekitar 3 mobil di parkiran. Di masa pandemi seperti sekarang, penting memastikan lokasi wisata tidak terlalu ramai dengan tetap menghindari kerumunan.
  2. Jika memiliki alat snorkeling, lebih baik bawa sendiri. Terus terang saya rada takut dengan proses desinfekstan alat, meskipun pengelola sudah memastikan hal tersebut.
  3. Jika sudah terbiasa snorkeling dan tidak menyewa kamera, mungkin tidak perlu memakai guide, jelas akan menghemat biaya. Namun pastikan mencari informasi spot-spot menarik.
  4. Saat mandi dan berganti baju pilih kamar mandi yang depan di dekat loket pembayaran. Di sana relatif tidak antri, kamar mandinya juga bersih. Di area belakang, di dekat laut juga ada kamar mandi tapi kemungkinan besar antri karena mayoritas orang yang berenang di laut memanfaatkan toilet di sana.
  5. Area tidak terlalu luas, jadi barang yang tidak diperlukan segera, seperti baju ganti, bekal makan yang berat, ditinggal di mobil saja. Jadi bisa santai saat berenang, menyeberang ke rumah apung, dan bermain di pantai tanpa harus direpotkan barang bawaan.

Secara umum, Bangsring Underwater sangat layak dipertimbangkan sebagai destinasi wisata keluarga. Biayanya murah namun pelayanannya tidak murahan. Yuk, agendakan, ke sana!

Melawan Rasa Takut

sumber gambar: dreamstime.com

“I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear.

Nelson Mandela

Umumnya manusia memiliki ketakutan akan sesuatu. Jenis ketakutan itu berkembang sesuai usia dan pengalaman yang dihadapinya. Bayi biasanya merasa tidak aman jika berada di lingkungan asing. Misalnya dia biasa tinggal di rumah yang tenang, tidak banyak suara, saat dibawa ke tempat yang ramai dan bising si bayi akan menangis karena merasa takut dan tidak aman. Penelitian yang dilakukan Andy Field dari Sussex University di Inggris menguatkan hal ini. Menurutnya, ada kesamaan pola ‘ketakutan’ yang dimiliki tiap anak pada usia yang berbeda. bayi takut akan lingkungan yang tidak biasa dihadapinya, seiring bertambah usianya mereka cenderung takut pada hewan tertentu dan hal-hal supranatural seperti hantu. Di atas umur delapan tahun anak mulai khawatir dengan hal seputar dirinya, misalnya mengalami cedera atau kecelakaan. Sedangkan anak remaja umumnya takut dengan masalah sosial seperti dianggap aneh atau ditertawakan oleh teman sebayanya.

Apa yang terjadi saat kita merasa takut?

Profesor Joanne Cantor dari Universitas Wisconsin Amerika Serikat pernah meneliti tentang sekelompok orang yang masih dibayangi rasa takut dari sebuah film yang sudah lama mereka tonton. Dari pemeriksaan MRI terlihat ada bagian dari otak, disebut amigdala, yang sangat aktif. Aktifnya amigdala ini memicu respon tubuh berupa detak jantung meningkat, tekanan darah naik, muncul keringat dingin dan timbul dorongan untuk melawan atau lari. Perasaan ini juga memicu hipokampus yakni tempat otak menyimpan ingatan hingga rasa takut akan muncul kembali jika menghadapi hal sama.

Tidak heran jika ketakutan itu berulang. Tiap kali kita menemui pemicu rasa takut, sekejap saja rasa ngeri akan menjalari diri. Tengkuk merinding, degup jantung meningkat, keringat dingin mengalir dan kaki tiba-tiba terasa lumpuh. Perasaan itu akan terus menerus kita alami, sampai kita berhasil mengalahkan rasa takut tersebut.

Rasa takut karena trauma masa lalu biasanya lebih susah diatasi karena ingatan yang sudah terpendam lama. Ingatan itu begitu membekas hingga merembet tidak hanya pada hal yang menyebabkan trauma, bahkan hal ”sederhana’ yang berkaitan dengannya. Contohnya mereka yang trauma karena pernah tenggelam di laut jadi takut berenang. Tidak hanya berenang di laut, mandi di sungai kecil atau bahkan di bak mandi (bath-up) akan membuat tidak nyaman.

Jika level ketakutan itu sudah begitu dalam, perlu dipertimbangkan untuk menemui psikolog. Dengan konsultasi dan terapi, ketakutan bisa ditelusuri dan pelan-pelan diatasi. Mungkin butuh waktu tidak sebentar, namun ada harapan untuk dilawan. Bahkan bukan tidak mungkin jika suatu saat rasa takut tersebut dapat ditekan serendah mungkin.

Untuk ketakutan-ketakutan yang tidak akut, kita bisa lawan sendiri. Salah satu caranya dengan menemukan sumber penyemangat dari diri sendiri maupun cerita atau pengalaman orang lain. Seperti pengalaman yang kurasakan baru-baru ini.

Sejak kembali ke Indonesia, aku takut menyetir mobil. Bayangan jalan-jalan kecil yang sempit, motor-motor yang berseliweran, kadang tidak bisa diprediksi, membuat ngeri. Aku takut menyenggol motor ibu-ibu (padahal aku juga seorang ibu pemakai motor) apalagi kalau ibu tersebut membawa anak kecil. Aku khawatir menyenggol mobil orang lain yang kadang diparkir di jalan dan sebagainya. Rasa takut itu membuatku selalu menunda keinginan untuk latihan menyetir, sampai hampir dua tahun kami kembali ke Indonesia.

Namun akhir-akhir ini aku merasa kebutuhan menyetir makin tinggi. Kadang ada acara yang kalau ditempuh menggunakan motor terasa jauh dan melelahkan. Jika naik go-car ongkosnya juga lumayan besar. Akhirnya aku memaksa diri untuk kembali menyetir.

Hal yang selalu kuingat adalah pengalaman menyetir selama 4 tahun di Amerika. Aku yakinkan diri kalau sebetulnya aku ini bisa menyetir. Aku ingat-ingat cerita teman tentang mereka yang awalnya takut menyetir, lalu memaksa diri dan akhirnya terampil juga. Aku tumbuhkan niat, bahwa kalau terampil menyetir mungkin aku bisa membantu teman-teman lain, misalnya ketika pergi ke alamat yang sama setidaknya bisa memberi tumpangan 2-3 orang.

Ternyata cara itu cukup efektif. Pekan lalu adalah pertama kalinya aku menyetir kembali. Saat pertama menginjak pedal, jantung berdegup kencang, keringat dingin mengalir, badan dan tangan kaku sekali memutar kemudi. Tapi terus aku lawan rasa-rasa itu. Sepanjang jalan ke RS Mitra keluarga Cikarang (kebetulan mau cek telinga yang beberapa hari terasa super gatal dan berdengung) tak henti aku rapalkan doa dan shalawat. Tiap papasan sama truk tronton jangungku berdegup lebih kencang 🙂 Perjalanan yang hanya 20-an menit serasa berjam-jam. Saat akhirnya berhasil parkir di RS, dan duduk di dalam menunggu giliran, rasanya lega sekali. Meskipun saat ingat nanti pulang mesti nyetir kembali, jantung kembali berdebar-debar.

Saat pulang dari RS, hujan deras. Tantangan menyetir bertambah. Ditambah lagi, mendadak aku lupa cara mengaktifkan wiper (untuk membersihkan kaca mobil dari air hujan). Tak lama kemudian aku salah belok alias kesasar. Panik, khawatir, takut menjadi satu. Akhirnya aku mencari tempat aman dan menepi. Lalu bertanya ke satpam arah yang benar, kemudian menelpon suami untuk memastikan cara mengaktifkan wiper. Masih dengan perasaan yang campur aduk, aku menyetir pelan-pelan, sampai…akhirnya sampai rumah dengan selamat. Meskipun saat masuk rumah, kaki masih gemetaran dan sekujur tubuh terasa pegal-pegal seakan menempuh perjalanan berjam-jam. Haha.

Setelah itu, ajaib sekali. Dua hari kemudian aku menyetir lagi. Dan perasaan takut itu sirna dengan sendirinya. Tiba-tiba seperti otomatis saja, respon mengurangi kecepatan, belok kanan, belok kiri, mundur. Truk besar, bus, mobil-mobil lain, sepeda motor tidak lagi terasa menakutkan. Bahkan aku sudah memberanikan diri melewati jalan yang lebih sempit dan ramai.

Oya malam sebelum menyetir yang kedua itu aku nonton episode baru “The Good Doctor S4”. Salah satu ceritanya ada seorang pasien yang sejak umur 8 tahun mengalami skoliosis atau tulang belakangnya melengkung mirip huruf C. Setelah 10 tahun mengalami kondisi tersebut, ada peluang dia dioperasi dan sembuh. Awalnya dia semangat namun menjelang jadwal operasi tiba-tiba dia mundur karena takut akan konsekuensi kalau dia benar-benar sembuh. Dia takut tidak bisa berlaku ‘normal’ seperti orang umum. Dia takut tidak bisa beradaptasi seperti orang kebanyakan. Singkat cerita Dr Glassman mengingatkan si pasien akan cita-citanya untuk hidup normal juga perjuangan mencari ‘dokter gila’ yang mau ambil risiko melakukan ‘operasi edan’ yang peluang keberhasilannya tergolong rendah. Hingga akhirnya si pasien memutuskan jadi operasi, dan dokter-dokter yang turut bertugas jadi terinspirasi untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya mereka takuti.

Sepertinya ada efeknya juga aku menonton episode tersebut. Jika dibandingkan dengan ketakutan-ketakutan yang selama ini mendera seseorang, misalnya saja trauma karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), ketakutan akibat teror atau kerusuhan, dan sejenisnya yang begitu dalam dan akut, ketakutan ‘menyetir’ serasa tidak ada apa-apanya. “Masak, sih, mengalahkan ketakutan ‘sekecil’ ini saja aku tidak mampu?” tantangku pada diri sendiri.

Entah ada kaitannya atau tidak, yang jelas, saat hari ini aku kembali menyetir, alhamdulillah sudah tidak takut lagi. Keterampilanku memang belum kembali 100% tapi rasa tenang dan percaya diri sudah kembali. Dengan keyakinan yang kuat insya Allah keterampilan bisa kita latih. Tanpa rasa takut, kita akan menempuh kemajuan. Dan percaya atau tidak, kemampuan mengalahkan rasa takut itu membuat BAHAGIA.

Dan kutipan dari Nelson Mendela baru benar-benar kurasakan: “Saya belajar bahwa keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, tetapi kemenangan atasnya. Orang pemberani bukanlah dia yang tidak merasa takut, tetapi dia yang mengalahkan rasa takut itu.”

Ke Puncak Telomoyo pake Jip

Di masa pandemi korona seperti sekarang, mesti pinter-pinter milih tempat wisata. Aku biasanya memilih tempat wisata outdoor, lokasinya luas, tidak terlalu banyak orang dan minim interaksi dengan pengunjung lain. Berkunjung ke Gunung Telomoyo, Magelang, Jawa Tengah, memenuhi kriteria ini.

Lokasinya mudah dicari, tinggal ketik ‘Gunung Telomoyo’ di GPS dan ikuti petunjuk yang ada di sana, kita akan sampai di parkiran wisata. Saat keluar dari mobil, seorang laki-laki menghampiri kami dan menyodorkan pamflet berisi informasi harga paket menyewa jip ke puncak gunung Telomoyo. Tertera 3 pilihan paket, Paket siang antara jam 9 pagi sampai pukul 15.00 WIB Rp 350 ribu, paket sunset Rp 550 ribu dan paket sunrise Rp 750 ribu. Kami datang saat siang hari, otomatis pilih paket pertama.

Kami pun membayar Rp 350 ribu untuk sewa jip dan Rp 20 ribu untuk tiket masuk 2 orang dewasa. Lalu naik jip yang kapasitasnya 4 dewasa dan pas untuk kami sekeluarga (ayah ibu dan 3 anak). Mulailah perjalanan yang menyenangkan, melewati area pertanian, hutan pinus dan pohon-pohon lain yang aku tidak tahu namanya. Kadang jalannya jelek jadi jip berguncang-guncang, kadang mulus. Di tiap belokan pak supir akan membunyikan klakson untuk memberi tahu kendaraan dari arah yang berlawanan.

Di sepanjang perjalanan kami mengobrol tentang pemandangan yang kami lihat. Lili berkomentar mengenai udara pegunungan yang dingin. Kami membahas telinga yang terasa tersumbat saat berada di ketinggian.  Juga saling menduga jenis-jenis hewan berdasar suara yang kami dengar. Sesekali kami berfoto, baik di dalam jip maupun saat berhenti di lokasi dengan pemandangan bagus.

Setelah kurang lebih 30 menit perjalanan sampailah kami di puncak. Sayang sekali pas berkabut. Pemandangan tidak jelas. Jalanan dan pemandangan sekitar memutih. Udara terasa dingin dan lembab.

Kami mampir di sebuah kedai dan pesan pop mie. Saat anaka-anak menunggu makanan, aku inisiatif jalan-jalan sendiri. Ada sebuah tanjakan dengan tangga menuju sebuah pemancar yang dikelilingi pagar terkunci.

Sampai di tangga paling atas, terlihat jalan tanah memutar ke arah samping pemancar. Aku pun memberanikan diri menapaki jalan tanah tersebut sambil berpegangan di pagar pamancar. Kita mesti ekstra hati-hati karena tidak ada pengaman di sekitar jalan tanah yang dikelilingi lereng curam tersebut. Tidak terlihat seorang pun di sekitar. Sempat terlintas di benakku, kalau sampai terpeleset lalu jatuh ke lereng, tidak akan ada orang yang tahu dan pasti butuh waktu lama untuk mendapatkan pertolongan.

Jalanan tanah, sempit, dikelilingi lereng curam yang ditumbuhi aneka tanaman itu mengingatkanku akan jalan-jalan setapak yang biasa kutapaki saat masih sering mendaki. Sayang pemandangan sekitar dipenuhi kabut. Pasti akan tampak indah saat cuaca cerah.

Setelah istirahat sebentar, duduk di batu sambil menikmati suasana dan mengambil beberapa foto aku kembali ke kedai menemui mas Sigit dan anak-anak. Tampak 2 pengunjung lain baru datang dan tengah menikmati kopi. Kami sekeluarga lalu menikmati mie dan beberapa camilan yang kami  bawa dari rumah.

Lili dan Ihsan asyik bermain, Sofie menikmati mie dan kami mengisi waktu dengan mengobrol. Terkesan rugi, naik ke puncak gunung hanya untuk makan mie dan duduk-duduk. Tapi entah mengapa, aku menikmati sekali kesempatan tersebut.

Jika dibandingkan dengan perjalanan kami ke Bromo tahun lalu, mengunjungi Telomoyo terasa lebih berkesan. Mungkin karena anak-anak sedang bersemangat dan mereka juga menikmati suasana. Sementara saat ke Bromo, anak-anak mengantuk dan rewel karena ‘dipaksa’ mengikuti jadwal kami orang dewasa yang ingin melihat matahari terbit dari ketinggian. Karena tidak menikmati suasana, kemungkinan besar mereka juga tidak ingat kalau sudah pernah menaiki Bromo.

Saat di puncak Telomoyo, pemandangan memang tidak terlihat karena dipenuhi kabut. Tapi anak-anak terlihat menikmati perjalanan. Mereka merasakan mengendarai mobil di jalanan yang berliku. Mereka melihat aneka pohon dan tanaman di gunung. Mereka menghirup udara segar, melihat kabut  dan awan yang terasa begitu rendah. Mereka mendengar kicauan burung dan suara serangga. Mereka menikmati mie panas, yang pasti terasa lebih lezat dibanding saat menyeduh makanan yang sama di rumah. Mereka duduk di kedai yang terbuat dari bambu, merasakan semilir angin pegunungan yang dingin dan menikmati waktu bersama keluarga.

Jika kurenungkan lagi, hal-hal kecil dalam hidup seperti ini yang justru lebih berharga. Sekadar makan mie di puncak gunung, ngobrol ngalor ngidul dengan mas Sigit, melihat Lili dan Ihsan bercanda, membuat hati terasa penuh. Dan untuk membuat anak-anak senang tidak melulu harus dengan mainan mahal atau liburan mewah.

Tahu nggak? Lili dan Ihsan tertawa-tawa hanya karena makan kuaci bunga matahari! Lili mengupas kuaci buat Ihsan, lalu dia meminta Ihsan mendongak sambil membuka mulut. Kemudian Lili menjatuhkan kuaci ke mulut Ihsan. Tiap kali kuacinya jatuh ke lantai, baik Lili dan Ihsan terbahak. Lalu mereka akan memulai lagi proses dari awal. Lili mengupas kuaci, ihsan mengambil posisi, Lili menjatuhkan kuaci ke mulut Ihsan, tapi terlewat, kuaci jatuh ke lantai dan mereka tertawa-tawa lagi. Begitu sederhana!

Saat kami memutuskan turun, kabut masih memenuhi puncak. Udara makin dingin dan mendung mulai tebal. Awalnya jendela jok belakang jip dibuka, baru 5 menit perjalanan pak supir menawarkan menutup jendela karena rintik hujan mulai terasa. Tepat setelah kami melanjutkan perjalanan usai menutup jendela mobil, hujan turun deras sekali. Ihsan minta dipeluk, Lili yang kali ini duduk depan bersama ayah, juga merapatkan diri. Pengalaman baru kembali dirasakan anak-anak. Menuruni lereng gunung sambil mengendarai jip, di tengah hujan deras dan sesekali petir menggelegar. Jalanan basah dan pemandangan tertutup kabut. Kami melewati banyak warung yang dipenuhi pengunjung bermotor yang berteduh. Tidak berapa lama Ihsan, Lili dan ayah tertidur. Sofie masih mencari posisi yang enak untuk tidur sementara aku masih menikmati suasana. Bagaimana bisa suasana yang seakan tidak menguntungkan ini malah terasa sempurna?

Kering Kentang

Bahan:

1 kg kentang (kupas dan potong korek api)

150 gr kacang tanah kupas

3/4 butir jeruk nipis, ambil airnya

70 ml santan

100 gr gula pasir

2 sdt garam ato secukupnya

2 lembar daun salam

Bumbu halus (blender semua bumbu bersama santan)

3 buah cabe merah

5 siung bawang putih

4 cm lengkuas

¼ sdt terasi (optional)

Cara:

  1. Kentang: potong2, iris tipis (pake serutan), cuci 3-4 kali sampe gak keruh lagi, lalu rendam air dingin. Goreng dalam minyak banyak sampe kering kuning keemasan, tiriskan dan angin2kan sampe dingin, masukin toples. Campur kentang dan kacang goreng, aduk merata, sisihkan.
  2. Panasin teflon/wajan, masukkan bumbu halus yang sudah diblender bersama santan. Masukkan daun salam, gula, garam dan air jeruk. Masak dengan api kecil sambil sesekali diaduk hingga kental (JANGAN SAMPE BERAMBUT). Matikan api, tunggu sampai setengah dingin.
  3. Campur bumbu dengan kentang kacang sekaligus sambil diaduk2 dengan cepat (pake sendok kayu dan spatula) hingga bumbu merata. Tebarkan di nampan plastik, angin2kan hingga dingin, simpen di toples.

Diadaptasi dari resep ini: https://www.pinterest.co.uk/pin/782289397744023303/

Pasien Rewel… atau Cerdas?

Dua hari terakhir Ibuku masuk rumah sakit lagi karena gejala stroke yang berulang. Tiga pekan terakhir tekanan darah beliau memang cenderung tinggi. Terapi obat juga sempat terhenti karena kami mengira setelah obatnya habis tidak perlu menebus obat lagi. Belakangan kami baru sadar kalau penderita darah tinggi perlu rutin minum obat.

Singkat cerita, stroke Ibu kambuh dan segera kami larikan ke UGD RS AH. Sampai di sana beliau segera diperiksa dan diputuskan opname. Kami pun mengurus administrasi, menemani ibu rontgen, baru masuk kamar. Sesiangan itu kami menunggu visit dokter spesialis saraf yang datang sekitar pukul 2 siang dengan waktu kunjungan kirang dari 5 menit. Aku masih syok saat ibu dokter berlalu sementara aku belum puas konsultasi.

‘Ah biasa memang kalau di RS itu dokter yang berkunjung cepat sekali,” ujar kakakku.

Kebetulan setelah itu sepupuku yang juga berprofesi sebagai dokter menelpon san menanyakan perkembangan kesehatan ibu. Aku langsung komplain mengenai kunjungan dokter yang sangat singkat dan kurangnya waktu untuk konsultasi. Dia menyatakan semasa pandemi ini memang ada kecenderungan dokter spesialis membatasi kunjungan bahkan ada yang tidak mau menyentuh pasien sama sekali. Dia menghibur dengan menyampaikan kalau minimal Ibu sudah mendapat injeksi obat. Aku lalu bertanya-tanya kapan Ibu mendapat injeksi obat karena merasa tidak mendapat informasi apapun. Di akhir pembicaraan sepupuku tersebut menjanjikan akan mengontak bagian manajemen RS agar kami mendapat informasi lebih lanjut.

Sorenya, ada perawat yang datang ke ruangan dan menjelaskan penanganan yang sudah diberikan. Mulai dari injeksi obat saat Ibu masuk UGD, obat yang diberikan siang hari dan lain-lain. Si Mbak perawat juga menyatakan kalau kami bisa konsultasi dengan dokter spesialis kunjungan esok.

Pagi ini ketika perawat datang untuk memberikan obat injeksi aku berinisiatif bertanya jenis dan tujuan pemberian obat tersebut. Juga apa standar menilai ibu sduah ada peningkatan yang menjadi patokan kapan beliau bisa pulang.

“Dokter yang akan memutuskan kapan pasien boleh pulang, Bu!” jawab perawat singkat, menjawab pertanyaanku yang terakhir.

Aku juga kembali menanyakan kesempatan berkonsultasi dengan dokter spesialis, jawabnya, “Kalau ingin konsultasi, sebaiknya Ibu bertemu dokter di ruang depan karena terkadang dokter tidak ingin menjelaskan kondisi di depan pasien,” jawabnya.

Hari itu saat bagian gizi mengantarkan makanan aku juga bertanya, apakah bisa bubur nasi yang dihidangkan diganti dengan nasi biasa, ternyata bisa. Siangnya ketika dokter spesialis berkunjung, beliau benar meluangkan waktu buatku untuk berkonsultasi. Bahkan ketika ibu menyatakan ingin segera pulang, beliau merespon secara positif dengan memastikan bahwa keluhan-keluhan kemarin sudah hilang sehingga Ibu bisa pulang.

Dan, benar, sore tadi ibu sudah boleh pulang. Kami sekeluarga tentu senamg sekali.

Namun selama dua hari di RS ini aku berefleksi, ‘Kenapa, ya, kita ini kalau dirwat di RS tidak pernah mendapat penjelasan, apa penanganan yang dilakukan, jenis obat yang diberikan dan kondisi seperti apa yang diharapkan bisa dicapai?”

Untuk kasus ibuku, sebenarnya informasi yang kubutuhkan sederhana saja. Kubayangkan, saat masuk UGD, perawat atau dokter akan memperkenalkan diri sebelum menanyakan gejala-gejala. Ini penting buat keluarga pasien untuk mengetahui otoritas orang yang menangani keluarga kita. Lalu setelah mendengar penuturan kami dan memutuskan, “pasien ini perlu dirawat ya pak/bu!” aku berharap dokter tersebut akan menjelaskan penanganan apa yang akan diberikan. Misalnya setelah ini pasien akan diberikan injeksi obat X untuk mencegah kerusakan yang lebih parah (misalnya). Setelah itu pasien akan dirontgen untuk mengetahui bla bla. Lalu pasien akan diperiksa dokter spesialis dan akan diberikan informasi lebih lanjut. Harapanku juga dokter spesialis setelah memeriksa akan memberikan informasi sesuai kondisi pasien maka akan diberikan penanganan ini dan itu, obat X dan Y sampai kondisi tertentu sehingga pasien bisa pulang atau perlu penanganan lebih lanjut.

Apakah keinginan tersebut terlalu muluk, pertanda pasien rewel..atau cerdas?

Mengenali Emosi

Sepekan terakhir aku mengikuti training Disiplin Positif (DP) yang diadakan sekolahnya Sofie (insya Allah) yaitu Peacesantren Welas Asih (PWA). Nah, materi hari ini membahas tentang Prinsip DP ke-6 yaitu MENGENDALIKAN DIRI bukan mengendalikan orang lain. Untuk bisa mengendalikan diri, kita mesti mengenali emosi kita sendiri. Saat kita mampu mengenali emosi seharusnya kita mampu mengendalikannya.

Membahas tentang emosi, aku jadi teringat film anak-anak yang sering banget ditonton Lili saat usia 2-5 tahun yaitu Daniel Tiger’s Neighborhood. Film ini sangat bagus untuk mengajarkan anak-anak mengenali dan menyikapi emosinya. Topik ini juga menjadi PELAJARAN DASAR dan WAJIB yang diajarkan di Pre-K/ Pre Kindergarden (semacam PAUD di Indonesia).

Lalu bagaimana mengenalkan emosi dan cara menyikapinya pada ANAK usia 3-4 tahun? Ternyata tidak susah lho.

Caranya, dengan memberi nama pada emosi tersebut, memahami dan mengatasinya. Ini contohnya, dalam episode Daniel Feels Sad ada theme song-nya:

“It’s okay to feel sad sometimes, little by little you’ll feel better again!” (Nggak apa-apa kalau sesekali merasa sedih, nanti sedikit demi sedikit kamu akan merasa lebih baik).

lalu ada pesan juga yang disampaikan melalui lagu:

“Asking a question about what happens, it may help!”  (Menanyakan mengenai apa yang sedang terjadi, itu mungkin membantu).

Ceritanya ikannya Daniel mati. Dia awalnya belum tahu apa arti ‘mati’. Ayahnya  menjelaskan kalau mati itu artinya ‘tidak bernafas’. Lalu Daniel tanya lagi, “Bisa nggak nanti dia bangun dan main lagi?” Ayahnya menjawab, “tidak bisa.” Terus Daniel menangis. Itu yang disebut sad atau sedih.

Lalu bagaimana cara mengatasi rasa sedih? Di episode ini Daniel mengatasi rasa sedihnya dengan menggambar ikan untuk mengenang ikannya yang mati.

Sederhana, kan? Tapi ini bagus sekali untuk dipraktekkan ke anak. Lili karena sudah terlatih di sekolah dan sering menonton Daniel Tiger’s jadi dia sudah biasa melakukan hal ini. Setiap kali dia sedih, dia akan menyampaikan kalau sedang sedih lalu dia melakukan sesuatu. Seeprti saat bangun tidur beberapa hari yang lalu dan kucingnya tidak ada di garasi depan. Dia merasa sedih lalu dia menggambar kucingnya dan memajangnya agar kalau dia kangen, dia bisa lihat gambar kucingnya tersebut. Demikian juga saat dia sedih tidak bisa mengunjungi sepupunya di Banyuwangi karena virus corona, dia lalu membuat kartu bergambar dia dan sepupunya sedang main bersama, disertai tulisan “I miss you.”

Episode mengenai Daniel “Gets Mad” juga menarik. Lagunya begini:

“When you feel so mad that you want to roar, take a deep breath, and count to four. 1..2..3..4…”

(Saat kamu sangat marah dan ingin berteriak, tarik nafas dalam-dalam dan hitung 1..2..3..4..)

Setelah itu pikirkan untuk melakukan sesuatu sebagai gantinya.

Dalam episode ini Daniel dan Pince Wednesday ingin main ke pantai tapi tiba-tiba hujan jadi mereka tidak bisa main. Awalnya Daniel sangat marah, lalu setelah mendengar nasehat ibunya, dia lalu menarik nafas dalam-dalam dan menghitung 1-4. Setelah itu dia merasa mendingan tapi masih sedikit marah. Lalu ibunya meminta dia berpikir untuk melakukan sesuatu sebagai gantinya. Mereka memutuskan bermain pasir di dalam rumah.

Selain itu masih ada episode-episode lain mengenai emosi seperti rasa frustated (frustasi), jealous (cemburu), scar (takut), left-out (tersisih) dsb.

 

Selain mengajarkan anak mengenali emosinya, ada pesan-pesan lain yang disampaikan melalui film ini. Misalnya,

“When something seems bad, turn it around, and find something good.”(Kalau kamu menemui sesuatu yang buruk, pikirkan bagaimana mengubahnya jadi sesuatu yang baik)

“Use the words” yang artinya gunakan kata-kata atau bahasa singkatnya, “Ngomong, dong! Karena kalau hanya teriak, nangis, marah, ayah/ibu/kakak/teman/ibu guru tidak bisa membantumu!” kurang lebih begitu.

AKu pikir pesan-pesan itu tidak hanya untuk anak-anak usia PAUD karena banyak banget orang dewasa di sekitar kita yang tidak mampu mengenali, memahami dan mengartikulasikan emosi secara tepat. Kita tidak diajari untuk itu. Umumnya kita hanya diminta untuk patuh, nurut, nggak membantah orangtua. Kalau ada rasa sedih, kesal, kecewa kita diminta menahan, jangan diluapkan tapi juga tidak diselesaikan. Jadi tidak heran kalau banyak orang dewasa yang tidak mampu mengendalikan emosinya. Ini menyedihkan sekali.

Hampir mustahil menjadi disiplin tanpa kemampuan mengendalikan emosi. Karena disiplin butuh kemampuan untuk menundukkan diri sendiri. Dan itu hanya bisa dicapai ketika kita paham emosi-emosi apa yang melingkupi kita dan bagaimana mengatasinya.

Jadi, ayo kenali emosi kita masing-masing!

Belajar dari Perbedaan

Suatu hari di bulan Desember, Liliana pulang sekolah dan langsung tanya, “Mommy, do you know what my favorite holiday?”

“Ibu tidak tahu, sayang, what’s your favorite holiday?” Jawabku

“My favorite holiday is Christmas!” Jawabnya ceria.

Lalu kutanya lagi kenapa dia suka natal, jawabnya karena banyak makanan, permen, cokelat dan hadiah-hadiah.

“We have a huge Christmas tree at school, Mommy with a lot of ornaments,” tambahnya.

Memang di sini, sejak akhir November suasana natal sudah terasa, terlihat dari pohon natal di mana-mana, juga lagu-lagu bertema Christmas. Salah satu topik yang dibahas di kelasnya Lili juga mengenai mengenal beragam holiday, khususnya yang dirayakan pada bulan Desember.

“I know you like Christmas, Liliana, but we don’t celebrate Christmas, because we’re moslem,” kataku sambil jongkok biar bisa berhadapan dengannya.

“So, what will we celebrate if we don’t celebrate Christmas?” sambung Liliana yang terlihat sedih.

“We celebrate Ramadan and Eid Fitr. We did stay in the masjid to have iftar or dinner together, remember? When we were stay along the nigh in the masjid for eating, praying and you were playing with your friend?”

“Oh yea, I remembered, Mommy. It kind of fun too. But what we will do at Christmas?”

“During Christmas we will going to New Jersey, Liliana. We’re going to Indonesian conference. You’ll meet a lot of friend over there. You’re going to field trip too!”

“Field trip, wow, where am I going on field trip Mommy?” Matanya membesar penasaran.

“It kind of game Centre!” jawabku

“Woo, I can’t wait to go over there,” jawab Liliana lagi.

Percakapan selesai.

Beberapa hari kemudian, saat pulang sekolah Liliana laporan lagi. “Mommy, today my teacher asked me, ‘Liliana are you celebrate Christmas?’, and I said, ‘No, Mrs Gortz, I’m not because I’m a moslem’.”

“That’s great, Sayang!” Pujiku

“But, Mommy, actually I’m still like Christmas,” Jawabnya sedikit murung.

Aku peluk dia. Lalu kududukkan dia di pangkuanku. Aku jelaskan bahwa boleh saja Liliana suka Christmas karena merayakan natal memang terlihat menyenangkan dengan aktivitas menghias pohon natal, menyiapkan kue dan berbagi permen, apalagi mendapat banyak hadiah. Siapa, sih, yang tidak suka hadiah. Tapi, kita tidak merayakannya, tegasku. Kenapa? Karena Christmas milik orang Kristen sedangkan kita Muslim dan kita punya hari raya sendiri. Kita hormati teman dan tetangga kita yang merayakannya, tapi kita tidak merayakannya. Kita bisa beli permen, kue-kue dan hadiah setiap saat tanpa harus merayakan natal.

Liliana balik memelukku erat. Di usianya yang menjelang 5 tahun, dia memang lagi suka-sukanya mengekspresikan perasaan, termasuk kesukaannya memelukku setiap pulang sekolah.

Mungkin dia belum bisa memahami sepenuhnya penjelasan dan aku juga tidak memaksakan dia harus paham sekarang. Tahun ini pertama kalinya dia masuk sekolah. Ada banyak hal baru yang dia pelajari. Tak mudah juga menjadi minoritas muslim yang memiliki identitas berbeda dengan kebanyakan teman dan guru-gurunya di sekolah. Justru dengan perbedaan ini aku berharap dia belajar mengenal diri dan lingkungannya.

Hal-hal seperti ini menjadi tantangan orangtua dalam membesarkan anak di Amerika Serikat. Tidak mudah membangun identitas muslim namun juga berharap mereka bisa beradaptasi baik dengan lingkungan mereka. Namun, aku yakin, sih, dengan pendampingan orangtua, kesediaan untuk selalu berdiskusi, kebersamaan menjalankan ibadah dan nilai keislaman, pemahaman itu akan hadir dengan sendirinya.

Hal-hal ‘Kecil’ dalam Hidup

Pernah, nggak, sih, kepikiran bahwa ada banyak hal-hal dalam hidup ini yang sepertinya ‘kecil’ tapi penting? Aku, terus terang agak jarang. Seringnya hal-hal ‘kecil’ ini muncul, mendadak, tiba-tiba dan ujung-ujungnya menghadirkan pikiran, “Kok, selama ini nggak kepikiran, sih?”

Seperti, suatu ketika Sofie minta tolong aku membukakan botol air minum kemasan. Saat aku lagi repot, dia minta tolong Mas Sigit, eh, kok, ya, kebetulan Mas Sigit lagi ribet ngerjain sesuatu. Aku baru kepikiran, “Ini bocah udah berapa tahun sih, usianya, masak buka botol air minum sendiri saja belum bisa?”

Lain waktu, aku lihat si bocah (Sofie), lagi asyik baca buku atau main komputer dan terlihat kukunya panjang-panjang serta hitam. Spontan aku bilang, “Sofie, mbok, ya, kamu potong kuku! Itu sudah panjang-panjang dan hitam.” Lalu aku sodorkan gunting kuku, dan apa yang terjadi?

Dia tidak bisa potong kuku sendiri!

Selain dua hal itu, masih panjang deretan hal-hal ‘kecil’ yang dalam pikiranku dia mestinya sudah bisa melakukan sendiri di usia 10 jelang 11 tahun (waktu itu). Namun kenyataannya, dia masih kesulitan. Termasuk menyisir rambutnya sendiri (karena terbiasa pake jilbab jadi dia tidak merasa perlu merapikan rambutnya), mengunci rambut (katanya sakit kalau rambutnya dikuncir), membuka kaleng, menuang saus botol ke mangkuk kecil, memegang mangkuk panas dari microwave, menyapu, mengepel, oh my…kenapa daftarnya jadi panjang begini…

Singkat cerita, sebagai ibu-ibu aku bereaksi dengan sikap yang ‘normal’ tapi sebetulnya tidak tepat, yakni ngomel-ngomel sambil sedikit menyalahkan dia. “Masak melakukan hal-hal ‘kecil’ begitu saja nggak bisa, sih, Sofie?”

Kadang aku ‘paksa’ dia melakukan semua hal ‘kecil’ itu secara tidak langsung. Contohnya dengan tidak mau membantu dia membuka botol air minum, biar dia berusaha sendiri. Biar saja dia kehausan, kalau tidak mau berusaha, begitu pikirku.

Tapi lama-lama aku pikir ini bukan cara yang tepat. Terbukti dengan tidak banyaknya peningkatan Sofie mengatasi hal-hal tersebut. Dia juga sering tampak frustasi karena merasa tidak mampu melakukan hal-hal ‘kecil’ itu.

Lalu aku coba cara lain. Kami jadwalkan latihan buat dia. Aku beri waktu dengan memberikan sedikit bantuan, misalnya memberikan minyak rambut sehingga rambut kriwilnya jadi lebih mudah disisir. Demikian juga kami berlatih mengunci rambut. Kuajari teorinya dan dia pelan-pelan praktek sendiri. Saat dia tetap tidak suka mengunci rambut sementara aku pingin rambutnya terlihat rapi, kami menemukan jalan tengah dengan memotong pendek rambutnya.

Demikian juga dengan potong kuku, membuka botol air minum, menuangkan saus dengan rapi, mencuci mangkuk, piring dan gelas punya dia sendiri, dll. Bahkan akhirnya dia bisa mencuci baju menggunakan tangan dia sendiri, dan beberapa waktu lalu dia belajar menjahit (setelah kami beradu argumen hampir setengah jam).

Anakku yang ini memang butuh alasan yang ‘jelas’ untuk melakukan segala sesuatu. Seperti saat aku meminta dia belajar naik sepeda, dia bersikeras, “I’m not an outdoor person Mommy! I won’t enjoy riding bicycle or other activities outside!” Intinya dia bilang tidak mau belajar naik sepeda karena tidak suka kegiatan di luar rumah dan dia tidak menikmati sepedaan seperti sebagian teman-temannya suka bersepeda.

Setelah panjang lebar beradu argumen, akhirnya aku bilang, “Kamu tahu Sofie? Bersepeda adalah kemampuan dasar yang perlu kamu miliki yang tidak hanya berguna untuk main tapi juga untuk keselamataan. Bayangkan jika kamu berada dalam suatu kondisi darurat, di sana tidak ada ayah dan ibu, kamu tidak bisa menyetir dan kamu butuh segera lari. Kalau kamu berjalan dan berlari, kamu tidak punya cukup waktu, sementara di sana ada sepeda. Dalam kondisi seperti ini kemampuan bersepeda menjadi penting untuk menyelamatkanmu.”

Akhirnya dia menganguk, “Okay Mommy, I will do it!”

Demikian juga pas aku membujuk dia belajar menjahit. Awalnya dia jelas-jelas menolak. Hingga aku coba jelaskan bahwa kemampuan menjahit penting karena menutup aurat adalah hal mendasar dalam agama kita. Kalau kamu bisa menjahit, kamu bisa memperbaiki bahkan membuat baju sendiri. Lita tidak tahu di masa depan, bisa jadi kemampuan ini membantumu untuk survive, dalam kondisi yang mungkin sekarang tidak bisa kita bayangkan. Alhamdulillah dia setuju dan mau belajar menjahit.

Aku tahu setiap anak berbeda, demikian juga anak perempuanku yang ini. Dia agak kurang terampil dan mungkin butuh waktu lebih lama untuk belajar sesuatu dibanding anak-anak lain yang mungkin bisa melakukannya secara spontan. Tapi aku bersyukur, Allah berikan kesadaran buatku, sebagai ibunya untuk menyadari akan pentingnya hal-hal ‘kecil’ ini. Dan syukurlah juga, dia mau mendengarkan dan mulai belajar, melakukan hal-hal tersebut.

Karena itu melalui tulisan ini aku hendak mengapresiasi pencapaian-pencapaian yang menurutku cukup besar untuk Sofie. Di usianya 11 tahun dia bisa membuka botol air minum sendiri, memotong kuku, menyisir rambut, mengunci rambut, sikat gigi dengan benar, mandi dan bersuci, mencuci baju dengan tangannya sendiri, membuat makanan sederhana, membuat teh, menata baju di lemarinya sendiri, menjahit sederhana.

Hal yang saat ini sedang on going atau dalam proses adalah belajar merajut, menyapu, mengepel, mem-vacuum rumah, dan mungkin memasak dan membuat kue sederhana.

Aku tidak tahu akan jadi apa Sofe saat besar nanti, tapi aku ingin memastikan dia bisa mandiri memenuhi kebutuhannya sendiri. Hal-hal itu mungkin kecil saat ini tapi aku yakin dari hal kecil itu akan menempa dia menjadi orang besar. “Ayah dan Ibu tidak akan selalu disampingmu Sofie karena itu kamu harus bisa mandiri!”

Tahu nggak sih, menuliskan hal ini saja membuatku terharu. Betapa mendidik anak itu sebuah proses jangka panjang, yang mungkin tidak akan pernah selesai bahkan ketika si anak sudah beranjak dewasa. Kadang aku khawatir jika tidak menyiapkan dia dengan baik dan ada hal yang terlupa diajarkan dan diingatkan sedari kecil. Tapi, ya, kita, manusia. Pasti akan ada hal yang terlewat dan terlupa. Kadang juga dia harus belajar dari pengalaman pahit untuk menjadi lebih baik.

Jadi, terus belajar ya Sofie. Ibu selalu berdoa buatmu!