Postingan awal Januari 2015
Mungkin banyak yang mengira kalau orang2 yang sering bepegian ke luar negeri atau orang Indonesia yang tinggal di luar negeri pasti fasih berbahasa Inggris. Terbukti dengan banyaknya teman yang tidak mau daftar sekolah di luar negeri (padahal mereka berpeluang) atau bahkan takut traveling ke negeri lain karena takut nggak bisa ngomong bahasa Inggris.
“Kamu ngomong gitu, kan karena kamu jago bahasa Inggris, kan?” kata salah seorang teman yang kuajak ngobrol mengenai hal ini. “E siapa bilang?” jawabku. (Maaf tidak sesuai eyd). Aku juga termasuk yang mayoritas yakni belajar bahasa Inggris berkali-kali tapi gak pede ngomong dalam bahasa Inggris.
Bayangkan saja aku belajar bahasa ini sejak SMP, bahkan dapat NEM (Nilai Ebtanas Murni) SMA mendekati angka 9 untuk mapel ini (tapi jangan tanya untuk mapel yang lain ya -tutup muka-), belajar lagi di bangku kuliah selama 2 semester dan..sempat ikut kelas conversation di LIA kurang lebih setahun. Harusnya udah lancar dong cas cis cus? Tapi ternyata? Ya begitu deh. Kalau ‘terpaksa’ harus wawancara narasumber yang gak ngerti bahasa Indonesia, aku akan menyiapkan transkrip pertanyaan dan antisipasi jawaban, kayak orang mau pidato aja. Itupun ngomongnya tetep pelan-pelan, takut salah..nggak natural deh pokoknya.
Saat traveling ke luar negeri (yang notabene itu cuma ke beberapa negara Asean alias Malaysia, Spore, Thailand) ya aku berbahasa Inggris sih, cuma ya semampunya, dan tetap saja terasa tidak pede dan merasa kemampuanku pas pas an.
Nah, pas tau mas Sigit bakal kuliah ke luar negeri dan aku akan turut ke sana, apa tidak terbersit kekhawatiran soal bahasa? Ada sih, terbersit kekhawatiran itu. Tapi aku selalu berpikir, nanti lah diurus sambil jalan. Kalau kira-kira gak paham omongan orang aku akan banyak mendengarkan saja, atau jika terpaksa hatus ngomong dan orang tidak paham omonganku, ya udah pakai bahasa tarzan aja, haha.
Jadi sebelum berangkat ke Amerika, terus terang tidak ada persiapan khusus masalah bahasa Inggris. Bahkan si Sofie yang mau sekolah di sini, tidak kulatih secara khusus. Kupikir, pokoknya nanti natural aja. Bahkan, aku kok yakin kalau anak-anak akan lebih mudah beradaptasi secara bahasa dibamding orangtuanya.
Sesampainya aku di sini, kebetulan banget pelajar Indonesianya sedikit. Satu kampus hanya ada 3 orang. Dan minggu-minggu pertama sama sekali nggak ketemu orang Indonesia yang bekerja/tinggal di sini. Jadi otomatis mesti berbahasa Inggris.
Pertama-tama ngobrol dengan satu dua teman di sini, baik orang Amerika atau pendatang, aku suka takjub, “Kok orang bisa paham ya dengan omonganku?” ^_^ Cara ngeceknya ya dengan obrolan yang nyambung, atau apa yang kumaksudkan bisa ditangkap dengan baik oleh orang tersebut. Memang sih, seringkali aku mesti mengulang dua kali, terutama saat mengawali obrolan, biasanya mereka akan merespon dengan, “Sorry, what do you mean?”
Mulai agak pede saat aku ketemu Robyn, salah seorang teman suamiku di Old Dominion University (ODU) dan saat kami mulai ngobrol dia berkomentar, “Your english is good. You speak clearly, I could understand it. You better than a lot of my friend who just came here,” kata Robyn.
Fateema (teman dari Iran) juga menguatkan pendapat Robyn. Menurutnya, orang-orang China dan India biasanya pinter-pinter secara grammar tapi pengucapannya tidak jelas jadi susah dipahami. Dia sendiri juga mengakui kalau saat pertama datang ke Amerika, 3 tahun yang lalu, dia tidak lancar bahasa Inggris.
Aku belum yakin tuh dengan 2 testimoni itu. Alhamdulill kan apartemen kami dekat dengan Islamic Centre yang sekaligus berfungsi sebagai masjid. Tiap kali shalat jamaah di sana, apalagi kalau pas shalat jumat atau saat kajian hadits, selalu ketemu sister dari berbagai negara. Ada yang dari Turki, Mesir, Libia, Maroko, Sudan, Palestina dan orang Amerika sendiri. Tiap kali ngobrol, nyambung juga kok. Sister Jami, mualaf dari Amerika juga mengatakan kalau dia bisa memahami dengan baik apa yang kukatakan dan menurutnya grammarku juga cukup bagus.
Selain itu, beberapa kali aku juga mengikuti acara untuk International Student, berupa diskusi tentang tema2 yg ringan, seperti pengalaman pertama datang ke Amerika. Dari diskusi itu, aku jadi tahu ternyata juga banyak yang mengalami kekhawatiran dengan ‘bahasa’, persis seperti kekhawatiran yang kubahas di atas. Dan sekali lagi kutemukan realitas: kalau banyak juga, kok, yang datang ke Amerika buat sekolah, namun kemampuan bicaranya juga pas-pas an.
Satu hal yang kupelajari, bahwa dengan sistem pengajaran bahasa Inggris di Indonesia, aku sangat yakin bahwa banyak dari kita yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris jauh lebih baik dari teman2 dari negara lain. Atau (biar tidak dianggap sok pede atau menyombongkan bangsa sendiri) mininal kita punya pengetahuan yang sama banyak dengan mereka yang dari India, China, Afrika (pokoknya negara2 yang bahasa utamanya bukan bahasa Inggris). Sayangnya, nih, entah kenapa yang justru tertanam dalam kepala kita adalah bahasa Inggris itu susah. Atau aku gak bisa ngomong bahasa Inggris. Takut salah. Takut diketawain karena grammarnya keliru. Dan parahnya lagi, ya, kita jarang praktek. Padahal, kan, bahasa itu harus dipraktekkan. Kalau hanya tahu teori tapi nggak pernah dipake ya sama saja.
Tapi yakin deh, kalau kita sudah pernah belajar bahasa Inggris (entah di sekolah, kursus atau bahkan otodidak), lalu kita praktekkan, apalagi dipakai sehari-hari, tau-tau keluar aja kata2 atau kalimat yang pernah kita pelajari. Seperti sebuah benda yang tersimpan rapi di dalam ‘laci’ pikiran yang menunggu saat yang tepat untuk hadir kembali.
Pengalaman si Sofie tidak kalah uniknya. Dia, kan, bisa dikatakan belum bisa bahasa Inggris. Sementara di sekolah, guru dan semua temannya berbahasa Inggris. Tidak ada satu pun yang bisa berbahasa Indonesia di sekolahnya. Kalau orang dewasa mungkin sudah jiper menghadapi kondisi seperti itu.
Tapi dasar anak-anak ya dan inilah kelebihan anak-anak yang orang dewasa perlu menirunya. Mereka itu tidak terlalu banyak pertimbangan, tidak punya prasangka atau dugaan-dugaan, ya dijalani aja. Dan, ternyata gak ada masalah berarti. Saat ini, kalau ditanya orang dewasa, misanya, “Hi Sofie how was your school?” atau ” Do you go to the school today?” atau “Who is your friend?” dll paling-paling dia cuma jawab “Hehe” (bukan ketawa lho ya) atau tersenyum saja tanpa menjawab apa-apa. Kecuali ditanya nama ya, kalau nama dan umur dia sudah tau jawabannya.
Tapi saat main dengan teman2nya -yang aku tau- saat di masjid (kalau pas di sekolah sih aq gak tau kesehariannya), dia sudah bisa komunikasi dengan baik, bahkan berinisiatif tanya duluan, seperti, “Do you like my toys?” (Ceritanya dia lagi punya mainan baru) juga menawarkan pizza ke temannya, “You want pizza?” Juga pas kapan itu aku dengar di teriak “I got it” (lagi main tangkap mainan).
Setiap kali aku ditanya orang, “English is second language in your country, is’t it?” Dan aku kebingungan menjawabnya, karena setahuku di Indonesia ya tidak menjalankan hal ini. Belajar (bahasa Inggris) iya biar lulus ujian, tapi jarang praktek dan tidak terlalu menjadi prioritas akhirnya si siswa bisa berbahasa Inggris atau tidak. Berbeda dengan Malaysia yang setahuku memang menjadikan English sbg bahasa kedua setelah Melayu. Juga di India yang sebagian besar menjadikan English sebagai bahasa kedua.
Jadi, menurutmu penting nggak sih, menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di Indonesia?