Postingan 15 Januari 2015
Dua minggu di Norfolk, alhamdulillah banyak sekali pertolongan Allah yang Dia kirimkan melalui orang-orang yang sangat ringan hati. Saat baru saja menginjak tanah Norfolk, hatiku sudah hangat dengan jalinan persaudaraan yang diulurkan oleh Bapak Kurnia Foe Beliau dengan ringan hati menjemput di stasiun dan mengantarkan kami sekeluarga ke apartemen.
Tidak cukup itu, sebetulnya bapak yang berasal dari Indonesia ini sudah menawarkan untuk menjemput kami di New York dengan cuma-cuma (kami hanya harus membayar sewa mobil -karena mmg mobil yg mau dipakai menjemput mobil sewaan-beserta bensin dan umbo rampenya). Namun tawaran yang sangat menyenangkan itu terpaksa kami tolak dengan pertimbangan Lili akan lebih nyaman jika menaiki kereta untuk perjalanan jarak jauh.
Ketika menjemput kami, Pak Kurnia yang juga memiliki bayi kembar tak lupa membawa car seat (kursi bayi yang biasa dipakai di mobil) untuk Lili yang kemudian car seat mungil dengan bunga-bunga berwarna ungu itu dihadiahkan untuk kami. Belakangan kami baru sadar betapa pentingnya memiliki car seat bagi keluarga yang memiliki bayi di Amerika.
Di sini semua penumpang dalam mobil harus duduk sendiri dengan memakai sabuk pengaman, termasuk bayi. Karena itu biasanya pasangan yang akan memiliki bayi secara otomatis memiliki stroller dan car seat, entah dengan membeli atau mendapat gratis dari pemerintah. (Saat kami mengantar Sofie imunisasi ada tulisan di klinik bahwa keluarga yang membutuhkan car seat bisa mendapat gratis).
Hari itu berlalu lah dengan penuh syukur. Kupikir walau kami belum punya mobil, car seat kan bisa dipake di rumah. Apalagi posisi bawah yang tidak rata membuat kursi bisa bergoyang-goyang membuat anak seperti diayun-ayun.
Keesokan harinya kami mau belanja karena sama sekali tidak ada bahan makanan di rumah. Aku sudah rindu sekali makan nasi dengan tumis dan lauk tahu/tempe. Tapi di dekat rumah tidak ada mall besar. Hanya ada seven eleven dan beberapa mart yang tidak menjual sayuran. Mas Sigit biasa menggunakan shuttle bus kampus yang tiap weekend memiliki rute ke walmart dan Kroger. Sementara sekarang masih masa liburan tahun baru dan shuttle bus masih belum jalan. Sementara bus umum, semasa musim dingin ini jadwalnya tidak teratur. Kata teman2 di sini yang biasa naik bus, terkadang kita mesti nunggu sejam di halte (kayak di Jakarta saja ya ). Mungkin karena cuaca yang dingin, jarang ada penumpang, supirnya juga males-malesan jalan. (Mungkin lho ya, gak ngerti aku apakah mereka sudah digaji sehingga tidak harus kejar setoranbapa gimana).
Akhirnya Mas Sigit coba telpon Pak Sem, mahasiswa PhD yang juga berasal dari Indonesia. “Aku nggak enak, ah, mas, masak minta orang nganter kita belanja,” kataku.
“Enggak gitu. Emang setiap pekan Pak Sem ada jadwal belanja. Jadi kita mbarengi aja sama jadwal beliau,” jawab mas Sigit.
Mas Sigit sempat telpon tapi tidak diangkat, akhirnya kirim sms. Selang beberapa saat Pak Sem balik menelpon, eh mas Sigit sedang keluar sama Sofie. Akhirnya kuangkatlah, “Halo, saya Aini istri mas Sigit, ini dengan Pak Sem?”
Sempat ada jeda sejenak, “Selamat sore Ibu, saya Sem. Tadi Mas Sigit menyampaikan kalau ingin bareng berbelanja, saya sebenarnya bisa siang ini tapi masalahnya saya tidak punya car seat untuk bayi. Gimana ya?”
“Alhamdulillah kami sudah punya Pak Sem. Kemarin, saat baru sampai sini, kami dijemput Pak Kurnia dan beliau memberi cat seat buat kami.”
“Oke, syukurlah kalau begitu tidak ada masalah untuk berbelanja siang ini.”
Sampai di situ aku baru ngeh bahwa memang penting punya car seat meski kami nggak punya mobil. Dan keesokan harinya kami juga pergi lagi bareng Pak Sem dan mobilnya. Jadi alhamdulillah banget. Cat seat dari Pak Kurnia benar2 bermanfaat.
Hari yang lain kami ganti mendapat bantuan dari Pak Beny. Pak Beny ini mahasiswa master dari Papua. Sore-sore dia datang ke rumah dengan membawa gantungan baju banyak banget. Katanya dia sudah punya cukup banyak di rumah dan hanger2 itu dia berikan ke kami. Alhamdulillah.
Selain teman2 dari Indonesia, kami juga disambut hangat oleh teman2 lain. Misalnya pasangan Farid dan Ameenah dari Tajikistan. Sesaat setelah kami bertemu di depan apartemen, dia mengirim sms menawarkan car seat punya Humayyun, putra mereka. Humayyun sudah 3 tahun jadi car seat itu tidak mereka pakai lagi.
Beberapa hari yang lalu kami sekeluarga diundang makan malam dengan sister Tayyaba. Dia muslimah dari Pakistan. Sedang mengambil studi S3 tentang Education Science dan sudah 3 tahun di sini. Di Pakistan dia menjadi guru di sebuah SMA.
Ngundang makannya serius banget, dalam arti makanan yang disajikan lengkap sekali. Ada nasi biryani dengan ayam (Si Sofie langsung seneng banget karena sudah lama tidak makan ayam, karena kami belum nemu toko daging halal di sini). Juga pasta, daging, salad, dan sup kacang merah. Minumnya jus Anggur. Makanan penutupnya adalah cake strawberry. Yummy, kan, aku sampai kekenyangan (Tapi maaf no pic, saat itu gak kepikiran mau foto2).
Menjelang pulang sister Thayyaba bercerita kalau di Pakistan ada tradisi menyambut keluarga atau sahabat yang baru datang dengan mengundang makan dan memberi hadiah untuk anak2. Dia minta maaf karena tidak sempat berbelanja untuk membeli hadiah untuk Sofie, tapi dia punya sekantung cokelat yang langsung diterima Sofie dengan mata berbinar-binar. Sekali lagi, Alhamdulillah..
Teman lain yang sangat menyenangkan bernama Robyn Headley, dia gadis asli Amerika, teman kuliahnya mas Sigit. Robyn ini orangnya sangat hangat dan menyenangkan. Sejak di Indonesia dia sudah menyapaku lewat message FB dan mengajak berkenalan. Saat bertemu di sini aku langsung merasa jadi teman baik. Dia banyak sekali membantuku lebih mengenal Amerika dan secara khusus kuminta menjadi ‘mentor’ bahasa Inggrisku. Oya ketika tragedi jatuhnya Air Asia, Robyn sempat khawatir banget kami menjadi salah satu penumpangnya. Makanya berkali2 dia kirim pesan, “Are you ok?”
Robyn pula yang mengenalkan aku dengan Fateema yang berasal dari Iran. Kami sempat bertemu bertiga, ngobrol panjang lebar sembari ngeteh di apartemen Fateema. Kami saling bercerita tentang negeri masing2, mempelajari sepotong2 bahasa Iran dan bahasa Indonesia, bicara tentang cita-cita, keluarga dan masih banyak lagi. Kami baru pertama bertemu bertiga tapi sepertinya sudah kenal lama. Asyik sekali sampai aku nyaris lupa kalau harus menjemput Sofie di halte bus sekolah sore itu.