
“I heard you will go back to Indonesia for good, is it true, Aini?”
Demikian pertanyaan yang tak henti kudengar awal Mei lalu. Banyak teman yang sudah seperti keluarga kami di Norfolk menanyakan hal tersebut dengan nada sedih. Kami memang memutuskan akan kembali ke Indonesia pekan ketiga Mei 2019. Mas Sigit sudah menyelesaikan disertasinya, meskipun secara resmi dia baru lulus dari kampus pada Agustus 2019 (insya Allah).
Tak pernah kubayangkan jika meninggalkan Norfolk akan terasa sedemikian sedih. Jika ingat pertama kali kami sekeluarga menginjakkan tanah di kota ini, rasa asing mendominasi dan sepertinya akan mudah saja saat tiba waktunya kami kembali ke tanah air. Namun 4,5 tahun juga bukan waktu yang sebentar. Teman yang awalnya sekadar kenal, menjelma menjadi teman baik bahkan jadi dekat seperti saudara. Lingkungan sekitar terasa nyaman, segala sistem sosial kemasyarakatan yang lebih teratur dibanding negara sendiri membuat kerasan. Ditambah lagi rutinitas yang mulai terbentuk dalam kurun waktu tersebut menjadikan hari-hari berlalu dengan cepat dan menyenangkan.
But, life must go on. Kita mesti terus melangkah. Rasa sedih dan berat tentu ada, tapi kita tidak pernah tahu apa yang ada di depan. Saat suami menerima beasiswa sekolah di Amerika, dia juga sudah menandatangani kontrak bahwa kami mesti kembali ke tanah air. Itu adalah janji yang harus ditepati! Itu pula jawaban yang selalu kuberikan pada teman yang menyayangkan keputusan kami untuk kembali. Bagi sebagian orang, kesempatan untuk masuk ke Amerika sedemikian susah, jadi umumnya mereka akan berusaha sekuat mungkin untuk bertahan. Tapi tentu kondisi setiap orang berbeda, dan ini keputusan yang kami yakini terbaik, insyaAllah.
Teman-teman dekat sudah kukabari jauh sebelumnya. Mereka sahabat-sahabat yang pasti butuh hati yang lebih ‘besar’ untuk ‘melepas’ kami. Sebagian besar teman, baru kukabari kira-kira sebulan sebelum kami pergi. Prose mengepak barang dan membersihkan apartemen cukup memeras energi dan pikiran. Belum lagi mengurus ke sekolah anak-anak karena mereka akan meninggalkan sekolah sebelum tahun ajaran berakhir, menyiapkan ‘pesta perpisahan’ kecil-kecilan dengan teman-teman Sofie dan Lili. Menjual barang yang bisa dijual, termasuk mobil yang masih kami butuhkan hingga hari terakhir kami di Norfolk. Terbayang, kan, riwehnya?
Apalagi saat itu bulan Ramadhan. Hampir setiap malam kami begadang karena tak ingin melewatkan tarawih di masjid. Sementara paginya anak-anak masuk sekolah seperti biasa. Tak heran di awal-awal Ramadhan kami sempat sakit bergantian, antara kecapekan, waktu tidur yang berantakan, dan lain-lain.
Sekitar sepuluh hari sebelum hari H kami meninggalkan Norfolk, kami setiap hari diundang buka bersama oleh teman yang berbeda. Rasanya terharu sekali. Kami yang bukan siapa-siapa, kami juga tak melakukan banyak hal, tapi semua teman memandang kami sangat baik dan memperlakukan kami dengan istimewa. Jika bukan karena Allah yang ‘mengangkat’ kami sedemikian tinggi, niscaya kami tak ada apa-apanya.
Banyak hadiah yang kami terima, uang pemberian dari teman-teman masjid, kenangan berupa makan malam dan diskusi-diskusi yang sangat menyenangkan, masyaAllah itu semua sangat membekas di hati. Norfolk bertransformasi di hati kami, dari kota asing menjadi tempat yang kami rindukan.
Dan tibalah hari H kami kembali ke Indonesia. Oya, mungkin bagi teman di Indonesia tidak atau belum terbiasa dengan kata-kata ‘back for good’. Istilah ini biasa dipakai untuk mereka yang berencana pindah atau kembali ke negara asal untuk seterusnya. Makanya biasanya kalau ada teman yang hendak pindah, suka ada yang tanya “Is it for good?” atau kurang lebihnya “Kamu beneran pindah untuk seterusnya? Dan nggak akan kembali tinggal di sini?”
Lanjut ketika hari H, kami menempuh perjalanan 8 jam ke New York, untuk kemudian terbang dengan Singapore Airlines selama kurang lebih 25 jam dengan transit di Jerman, Singapura sebelum mendarat di Indonesia. Alhamdulillah semua lancar dan kami sampai Indonesia dengan selamat!