13 years and more (insyaAllah)

4 Januari lalu merupakan ulang tahun pernikahan kami ke-13. Tidak terasa, waktu berjalan cepat. Dari berdua, jadi berlima. Si Sulung yang dulu ditimang, sekarang tingginya sudah melebihi ibunya. Si nomor dua yang kemarin-kemarin masih manut-manut saja, sekarang sudah bisa bilang, ” I feel left out, Mommy!”

Hal yang selalu kusyukuri, baik dalam perjalanan rumah tangga ini maupun kehidupanku secara keseluruhan, adalah karunia Allah berupa ‘rasa cukup’. Rasa cukup itu membuatku bersyukur dengan segala yang Allah berikan dan tidak pingin sesuatu milik orang lain. Rasa cukup itu pula yang membuatku seakan ingin bilang bahwa aku senang menjadi diriku sendiri dan kalau sleandainya Allah beri kesempatan untuk dilahirkan kembali dan memilih menjadi siapapun, maka aku akan memilih untuk menjadi diriku yang sekarang.

Demikian juga dengan pernikahan dan rumah tangga ini, rasanya semuanya berjalan indah-indah saja. Bertemu pertama kali dengan mas suami (tentu waktu itu masih orang lain) tahun 2001 dalam sebuah acara di Magelang. Kenal lebih intens tahun 2002-2004 dalam komunitas Al Manar UGM. Sempat putus komunikasi lalu sambung lagi masa-masa gempa Jogja 2006. Dan, menikah awal tahun 2007.

Lalu kami tinggal di Palu, Sulteng dan punya bayi perempuan pada November 2007. Selama tinggal di Palu, kami merasakan suka duka dalam proses saling memahami. Setiap pasangan yang baru menikah pasti mengalami susah senangnya mengenal karakter asli masing-masing. Berkompromi dengan kekurangan pasangan dan berjuang menemukan pola komunikasi yang baik, agar pesan sampai tanpa harus menyinggung perasaan. Di sini juga kami merasakan uang tabungan yang selalu habis terkuras tiap tahun pas pulang kampung saat lebaran 🙂 Jadi tiap habis lebaran serasa disapa oleh petugas pom bensin, “mulai dari nol, ya!” ^_^

Dua setengah tahun kemudian mas suami mendapat beasiswa ke Belanda, aku nangis seneng juga sedih. Seneng karena ini mimpi dia sejak lama, sedih karena nggak bisa ikut alias mesti pisah lama. Mas suami sadar sekali kalau istrinya ini nggak suka jauhan sama dia, makanya dia cari program yang singkat. Dan atas pertolongan Allah program S2 dia bisa kelar kurang dari setahun.

Tahun 2009-2014 kami tinggal di Jakarta. Aku kerja di majalah Ummi (yang ini merupakan awal karierku di bidang penulisan) dan dia ngajar serabutan di banyak universitas sampai akhirnya menetap mengajar di Universitas Presiden. Di Jakarta kami merasakan ngekos satu kamar yang sempit dan panas. Selama setahun ditinggal mas suami ke Belanda, aku pernah tinggal di kost yang jauh dari kantor, dan kalau malam berisik banget. Kadang ada anak-anak kecil yang iseng ngetok-ngetok pintu. Tiap hari aku berangkat ke kantor bawa bocah usia 2,5 tahun (karena waktu itu belum dapat ART). Berangkat sepagi mungkin dan pulang paling malam. Itu satu-satunya cara ‘membunuh’ waktu. Kadang pas malam, setelah si bocah tidur, aku nyuci baju sambil nangis karena kangen sama mahasiswa S2 yang lagi sekolah di Belanda itu.

Keadaan sedikit membaik saat aku punya ART terbaik sepanjang perjalanan rumah tangga, bernama Mbak Wati. Aku juga sudah pindah ke kontrakan dekat kantor, yang sebenarnya tingkat kenyamanannya juga sangat rendah karena hampir ambruk dan banyak tikus. Ngontrak dengan teman terbaik bernama Esti, yang sayangnya cuma bertahan beberapa bulan dan kembali mesti tinggal sendiri. ART terbaik itu juga cuma bertahan beberapa bulan karena mesti pulang kampung, menikah dan tak kembali ke ibu kota.

Masa-masa mas suami sekolah di Belanda itu rasanya jadi waktu paling berat buatku. Tapi alhamdulillah semua terlampaui dan mas suami bisa kembali dengan selamat (dan sukses). Tampak keren dengan ijazah S2 dari luar negeri tapi belum punya pekerjaan di Indonesia. Hehe. Mulailah babak baru pencarian pekerjaan. Mengajar bahasa Inggris di LIA, juga mengajar HI di Universitas Budi Luhur, Paramadina, UIN, juga di UPN Jakarta. Akhirnya menetap mengajar di Universitas Presiden, Cikarang. Tiap hari mas suami berangkat pagi-pagi, kadang naik kendaraan umum, pernah juga naik motor, pulang sore kadang malam hari. Capek dengan kemacetan jalan di Jakarta, tapi alhamdulillah kehidupan kami terus berjalan. Tiap akhir pekan kami sekolah Qur’an dan menambah hafalan di Al Hikmah, Mampang. Mas suami juga masih sempat ikut kelas Bahasa Arab di masjid Al Manar, Utan Kayu, Jakarta Timur, dekat kantor Ummi. Tempat kost kami juga sudah lebih nyaman, meskipun rumah tua tapi lumayan luas dengan ongkos yang terjangkau.

Lalu mas suami mendaftar beasiswa ke Amerika, alhamdulillah diterima. Mulailah kami LDR lagi selama 5 bulan, pas kebetulan aku hamil anak kedua yang jadwal lahirnya kok, ya, barengan sama jadwal mas suami berangkat ke Amerika. Alhamdulillah Allah mengaturnya dengan baik, suami sempat tertunda berangkat yang sisi positifnya jadi bisa mendampingi aku melahirkan tapi negatifnya proses ngurus pemberangkatan yang berbelit-belit (bahkan nyaris tidak bisa berangkat). Dan aku menunggu di Indonesia, tepatnya di kota kelahiranku di Banyuwangi sambil mendampingi bayi yang lahir tepat di hari terakhir Ramadhan tahun 2014 serta bocah perempuan usia 7 tahun yang mulai masuk SD.

Lima bulan yang sepertinya tidak lama, kala itu, saat menjalaninya, waktu berjalan seperti keong, lama sekali 🙂 Dan tak terkira bahagia ketika akhirnya kami bisa bersama menginjakkan kaki ke kota New York City yang gemerlap. Seperti mimpi bisa menginjakkan kaki di kota yang rasa-rasanya dikenal orang sedunia raya. Dan lima tahun berlalu nyaris seperti kedipan mata. Begitu cepat.

Pengalaman yang sungguh berkesan tinggal hampir selama lima tahun di Norfolk, Virginia. Banyak susahnya juga, kondisi finansial yang terbatas, pernah juga kami berutang yang sepertinya tidak akan terbayar sampai kami kembali ke Indonesia. Alhamdulillah atas pertolongan Allah, lunas juga. Mas suami beberapa kali sakit, sepertinya karena tekanan mengerjakan disertasi. Aku juga sempat bekerja sebagai babysitter, petugas cleaning service dan terakhir menjadi penjaga toko di mall. Tapi pengalaman senangnya terasa lebih banyak. Mengenal banyak orang dari berbagai negara di seluruh dunia, mengecap makanan dari berbagai bangsa, dan buatku pribadi: menjadi lancar berbahasa Inggris dan menyetir mobil sendiri.

Si Sulung belajar membaca dalam bahasa Inggris. Dia juga merasakan belajar SD kelas 1-kelas 5 (kelas terakhir Elementary School di US) di sana. Si nomor dua sempat merasakah sekolah setahun di Amerika. Dan setahun terakhir sebelum kami balik Indonesia, Allah kasih bonus bayi laki-laki ganteng, Alhamdulillah.

Di Amerika kami bergabung dengan IMSA (Indonesian Muslim Society of America) yang memberikan pengalaman luar biasa. Tiap tahun (kecuali tahun 2014 karena aku lagi hamil besar) kami menghadiri Muktamar IMSA yang menjadi ajang pertemuan diaspora muslim Indonesia dari seluruh penjuru Amerika dan Canada. Teman-teman IMSA juga yang selalu berbaik hati menyambut kami yang sering numpang istirahat dan menginap kala melakukan perjalanan lintas negara bagian di Amerika.

Di Amerika kami bertemu orang-orang baik, dari berbagai agama, ras dan bangsa. Kami dua kali mendapat hibah mobil gratis. Kami mendapat selimut-selimut hangat yang dibuat sendiri oleh sekelompok lansia di sebuah gereja. Kami mendapat kiriman makanan hampir tiap hari selama sebulan dari komunitas masjid dekat kami tinggal selama proses pemulihan paska melahirkan, juga dari teman-teman Indonesia di VA dan para tetangga serta teman-teman Amerika. Tidak sekali teman-teman Amerika yang mayoritas beragama Kristen mengantar kami ke sana kemari mengurus banyak hal (saat kami belum punya mobil). Begitu berlimpah nikmat yang Allah berikan hingga rasanya tak pernah cukup rasa syukur itu aku panjatkan.

Saat harus kembali ke Indonesia 6 bulan yang lalu, rasa beratnya melebihi perasaan saat meninggalkan Indonesia lima tahun yang lalu. Norfolk, VA sudah seperti kampung halaman kedua buatku. Ada orang-orang yang kami cintai di sana. Ada tempat-tempat yang kami menitipkan kenangan. Semoga Allah ijinkan kami menjejakkan kaki lagi ke sana, entah sekadar berkunjung atau menetap lagi.

Hal yang selalu kusyukuri dari perjalanan rumah tangga ini adalah pasangan yang menjelma menjadi sahabat baik. Dia orang paling mengerti diriku, bahkan melebihi kedekatanku dengan semua teman dekat yang pernah kumiliki. Di depannya aku bisa menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi. Jika aku malu, takut, sedih, khawatir, tanpa ragu dan malu aku bisa bercerita dan dia selalu bisa menjadi tempat bersandar. I love him more saat menuliskan deskripsi ini.

Dari sepanjang perjalanan berumahtangga aku bertemu dengan banyak orang dan pasangan lain. Dan tidak semua rumah tangga diberikan ‘rezeki’ berupa ‘teman baik’ ini. Banyak pasangan yang ketika istri atau suaminya melakukan kesalahan, suami atau istrinya ikut menyalahkan. Banyak juga istri atau suami yang tidak bisa jujur menjadi diri sendiri di depan pasangan karena berbagai alasan. Karena itu, menurutku, menjadi rezeki luar biasa kalau Allah jadikan pasangan kita sebagai teman baik yang selalu mengerti. Teman baik tidak berarti selalu membenarkan, tapi dia bisa mengajak pada kebaikan tanpa kita merasa disalahkan. Teman baik membuat nyaman bercerita karena kita percaya rahasia kita aman dan dia memahami karakter serta sifat-sifat kita.

Aku melihat banyak pasangan juga seperti ini. Mereka saling mendukung dan memahami. Tapi tak sedikit juga yang sebaliknya. Yang jika melihat suami atau istrinya salah dia yang teriak paling keras menyalahkan, semoga teman-teman yang membaca postingan ini tidak termasuk didalamnya.

Ada banyak cerita dari 13 tahun perjalanan kami. Dari kurus kami menggendut berdua 🙂 lalu olahraga bareng, diet bareng, timbangan sedikit bergeser ke kiri walaupun kemudian gendut lagi, begitu saja naik turun. Di awal rumah tangga mas suami tidak terlalu suka pedas, sekarang ketularan doyan pedas bahkan nggak lengkap lagi makan kalau tidak ada cabe ^_^ Dari hobi tidur ketika libur sekarang mas suami ikutan suka jalan-jalan, dan beberapa kali mendaki gunung berdua, termasuk mewujudkan salah satu keinginan terpendamku yakni menaklukkan Mahameru. Terimakasih sudah sabar menemani ^_^

Tiap kali kami jalan-jalan, ada saja hal yang bikin diem-dieman. Kadang negosiasi masalah pilihan tempat menginap dan destinasi yang nggak kelar-kelar. Maklumlah, kami keluarga mahasiswa PhD yang dompetnya pas-pasan tapi ingin menjelajahi seluruh penjuru Amerika. Kadang, ya, enggak tau apa sebabnya. Tapi tak lama kami ketawa-tawa lagi. Saat mengunjungi sebuah tempat wisata, mas suami paling sabar menenangkan anak-anak, ngajak main, nungguin anak-anak sementara sang istri ke sana ke sini ambil foto dan nyoba segala macam wahana. Dia juga suka nyetir dan tidak mau digantiin karena kalau jadi penumpang suka mabuk. Hehe.

Masih banyak hal lain yang rasanya tidak akan pernah cukup ditulis satu-satu. Yang jelas di ulang tahun pernikahan ke-13 ini aku ingin kembali mengingatkan diri sendiri untuk lebih banyak bersyukur dan bersandar hanya pada-Nya. Banyak hal -yang biasanya berkaitan dengan uang/finansial- sebelumnya samar dan kalau pakai perhitungan manusia seperti meragukan, tapi ketika kita jalani dengan niat baik, selalu Allah kasih jalan. Tidak terhitung banyaknya doa-doa yang dikabulkan-Nya.

Tiga belas tahun masih terbilang muda, namun insyaAllah kami siap menapaki tahun-tahun ke depan. Mohon doanya agar kami selalu bisa menebar kebaikan, di mana pun Allah tempatkan kami sekeluarga.

 

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s