Menjelajah Eksotisnya Teluk Hijau

Banyuwangi memiliki destinasi yang serasa tidak habis-habis dijelajahi. Betapa beruntungnya masyarakat yang tinggal di kabupaten yang berjuluk The Sunrise of Java ini. Betapa tidak? Di ujung utara, ada Taman Nasional Baluran, yang menawarkan keindahan alami savana, hutan, serta deretan pantai-pantai berombak ringan dengan pemandangan bawah laut yang memesona. Sementara di sisi selatan, terdapat taman Nasional Meru Betiri, Alas Purwo dengan koleksi flora serta fauna yang menggoda untuk dijelajahi. Juga deretan laut-laut berpasir putih yang memukau pandangan mata.

Kali ini, saya dan keluarga menjelajahi destinasi tersembunyi. Butuh usaha yang tidak ringan untuk mencapainya, namun sepadan dengan eksotisme pemandangannya. Tempat itu adalah Teluk Hijau atau masyarakat sekitar menyebutnya Teluk Ijo.

Berlokasi di dusun Krajan, desa Sarongan, kecamatan Pesanggarana, Teluk Hijau tepat berada di balik deretan bukit terjal di sebelah Pantai Rajegwesi. Jika ingin ke sana kita mesti menuju kecamatan Pesanggaran yang berjarak kurang lebih 90 km dari kota Banyuwangi. Lokasi pantai ini searah dengan Pantai Pulau Merah, Mustika, Pancer, dan Sukamade. Wisatawan yang menuju Pantai Sukamade umumnya singgah di pantai ini.

Dari kawasan Pulau Merah, Teluk Ijo masih berjarang kurang lebih 25 meter. Ikuti saja arah yang ditunjukkan GPS hingga kita memasuki kawasan Perkebunan Sungailembu. Di kanan kiri jalan kita disuguhi pemandangan hijau segar. Ada banyak jenis pohon, tapi saya hanya mengenali pohon karet dengan bekas sayatan di batang. Di salah satu kebun terdapat informasi bahwa saat itu sedang ada penebangan pohon, oleh sebab itu pengunjung diminta berhati-hati. Sayangnya makin dekat ke pantai, jalan makin jelek. Jalan tanah berbatu dengan lubang di sana sini. Bagi pengunjung yang membawa mobil kecil rendah seperti kami, tidak ada jalan lain selain mengemudi dengan kecepatan rendah. Waktu tempuhnya jelas lebih lama, tapi lebih aman karena tidak perlu merasakan guncangan-guncangan keras kala ban melindas batu dan melintasi lubang.

Kawasan perkebunan Sungailembu

Lalu kita akan bertemu pintu gerbang Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Saat ke sana akhir Mei 2021 lalu, saya membayar tiket masuk Taman Nasional Rp32.000 untuk satu mobil, 2 dewasa, 1 anak remaja, 1 anak usia 7 tahun, dan 1 bocah balita. Biaya yang saya keluarkan terkait retribusi hanya di sini saja, kami tidak diminta membayar parkir lagi di Pantai Rajegwesi. Saat membayar tiket, pengunjung diminta mengisi buku tamu dengan mencantumkan nomor telepon genggam.

Dari pintu gerbang TNMB kami melanjutkan perjalanan ke arah pantai Rajegwesi. Bagi pengunjung yang ingin menjangkau Teluk Ijo menggunakan perahu, parkirlah kendaraan di kawasan Pantai Rajegwesi. Saat kita sampai akan terlihat perahu-perahu di pantai. Ada kedai-kedai makanan, mushola, dan toilet. Tidak perlu khawatir, tak perlu mencari-cari perahu, biasanya saat kita sampai akan ada nelayan yang menghampiri dan menawarkan jasa menyeberang. Ongkos naik perahu per orang (di saat ramai) Rp35.000 atau Rp50.000 di kala sepi.

Jika enggan membayar ongkos perahu atau takut menaiki kapal, pengunjung bisa juga mencapai Teluk Ijo dengan berjalan kaki. Lanjutkan perjalanan dari Pantai Rajegwesi hingga mencapai Teluk Damai. Dari sana lanjutkan perjalanan mendaki bukit sepanjang kurang lebih 1 km ke arah pantai Batu. Pantai Batu berada 300 m sebelum Teluk Ijo. Waktu pendakian hingga mencapai Teluk Ijo kurang lebih 1 jam.

Pantai Rajegwesi

Dua puluh empat tahun yang lalu, saya menjangkau Teluk Ijo dengan mendaki bukit. Kali ini, dengan membawa 3 anak, salah satunya balita, kami memilih menaiki perahu. Total ongkos yang kami bayar Rp200.000 satu perahu PP (pergi pulang).

Singkat cerita, kami menaiki perahu menuju Teluk Ijo. Lama perjalanan kurang lebih 15 menit. Kami mengarungi laut yang biru jernih dengan deretan bukit terjal hijau di sisi kanan. Laut terlihat dalam karena tidak terlihat dasarnya. Ombak tidak terlalu besar namun perahu tetap bergoyang-goyang. Anak saya paling kecil, Ihsan, menangis saat pertama memasuki perahu. Tangisnya makin kencang saat perahu berjalan. Setelah beberapa saat dia berhenti menangis dalam dekapan suami saya. Ini memang pengalaman kedua dia naik perahu dalam jangka waktu seminggu. Semua penumpang memakai jaket pelampung untuk keamanan.

Saya sangat menikmati pemandangan saat menyebarang menggunakan perahu. Cuaca cerah, langit berwarna biru terang. Air laut tampak jernih berkilauan. Terlihat perahu-perahu nelayan di kejauhan. Riak ombak membuat perahu bergoyang, dengan kecipak air di sana sini. Kami sekeluarga sudah memakai pakaian renang jadi tidak masalah dengan baju basah. Saat menuju Teluk Ijo, sebaiknya bawa barang secukupnya dengan tas tertutup rapat.

Sesampainya di Teluk Ijo, saya langsung terpaku dengan pemandangan yang indah memesona. Pasir pantai yang berwarna putih kecokelatan terlihat kontras dengan warna air laut biru kehijauan. Batu-batu cadas dengan hutan di sekelilingnya mengingatkan saya akan film lama, Cast Away. Saat kapal merapat sekitar pukul 10.00 pagi pantai masih sepi. Anak pertama saya, Sofie menyeletuk, “I hope we are not the only one who come here today.” Agak ngeri juga kalau sepi dan hanya kami sekeluarga di pantai ini. Soalnya seusai mengantar kita, perahu akan kembali ke Rajegwesi. Jadi terbayang jika hanya sekeluarga, apalagi sendiri, akan terasa memiliki pantai sendiri.

Tapi kekhawatiran Sofie tidak terbukti. Tak lama setelah kami sampai, datang serombongan anak muda dari arah hutan. Mereka langsung mengambil tempat di sisi utara yang penuh batu karang. Suara tawa riang dan antusiasme mereka mengambil foto terdengar dari kejauhan. Kami duduk-duduk santai, anak-anak bermain pasir dan ombak. Saya mengeksplorasi pantai. Sisi utara pantai memang spot pertama yang dijangkau pengunjung yang datang berjalan kaki. Ada batu-batu besar, dengan air jernih dan ikan-ikan kecil berenang di sana. Sisi selatan, juga dipagari dengan karang terjal. Ada air terjun yang saat itu kering. Air terjun ini hanya ada airnya di musim hujan, sekitar bulan Desember-Februari. Ada bangku-bangku untuk duduk. Tidak ada kedai makan, toilet dan ruangan berganti pakaian.

Satu lagi yang sangat penting dan mesti diwaspadai. Kawanan MONYET. Beberapa menit setelah kami tiba di pulau, mereka sudah menguasai bangku dan memandang kami penuh minat. Mas Eko, nelayan yang mengantar kami sudah berpesan, semua makanan harus disimpan rapi di dalam tas tertutup. Jangan meninggalkan tas jauh dari jangkauan, apalagi menggelar makanan. Ada banyak monyet usil dan agresif.

Untung kami membawa tas ransel dan tas makanan jinjing besar. Saya ingat baik-baik pesan tersebut. Sampai Lili kelilipan dan minta diambilkan handuk. Saat mengambil handuk, tanpa sengaja saya mengeluarkan keripik kentang yang masih dalam kemasan bersegel. Sibuk mengurus anak-anak, saya lupa memasukkan kembali keripik kentang tersebut ke dalam tas. Tidak menunggu lama, seekor monyet menyambar keripik tersebut dan ngacir diikuti kawanan mereka. Kami terpukau, kaget, sempat takut disusul tawa geli anak-anak.

“Can the monkey open the chips, Mommy?” Tanya Lili.

Saya jawab, pasti bisa. Mereka memiliki cakar tajam. Dan kemungkinan besar ini bukan pertama kali mereka mencuri makanan. Jadi pasti mereka sudah ahli membuka makanan kemasan seperti tadi.

Sesiang itu saya melihat si monyet beberapa kali mencuri sesuatu dari pengunjung lain. Bahkan ada satu tas pengunjung yang dia bongkar. Dengan lihai si monyet memasukkan tangannya ke laci-laci ransel, mencari makanan. Saat diteriaki pemilik tas, dia lari, tapi kemudian balik lagi.

Saat kami makan siang, mereka (monyet-monyet itu maksudnya) mengawasi kami dengan ‘ganas’. Seakan-akan mereka menunggu saat yang tepat untuk meloncat dan merebut makanan kami. Padahal selama kami makan, mas Sigit berdiri siaga sambil membawa pentungan kayu seukuran paha orang dewasa. Tapi mereka tidak menunjukkan raut takut sedikit pun malah balik menyeringai galak. Alhasil kami sendiri yang ‘keder’ lalu mempercepat proses makan siang dan berpindah ke area yang lebih ramai.

Makin siang, makin banyak orang datang, tambah besar juga ombaknya. Anak-anak melipir ke pinggir, hanya berani bermain air di pantai, sambil membuat istana pasir dan mengumpulkan kerang.

Menjelang jam dua belas siang, Pak Supri yang pertama kali menawari kami perahu saat di Pantai Rajegwesi datang bersama dua perahu yang penuh berisi rombongan biker. Saat perahu kembali ke Rajegwesi, Pak Supri tinggal. Beliau duduk di samping kami dan mengobrol. Beliau bapak 3 anak laki-laki yang semuanya berprofesi sebagai nelayan serta menjual jasa mengantar wisatawan ke Teluk Ijo. Mas Eko yang tadi menganatr kami adalah putra ketiga beliau. Sebelum pandemi, setiap pekan mereka bisa dapat, minimal Rp1.000.000 dari jasa sewa perahu. Tapi setelah pandemi, dapat seperempatnya saja sudah beruntung.

Mengobrol bersama Pak Supri

Untung masih ada ikan-ikan yang menjadi mata pencaharian utama mereka. Bulan Mei-Juni ini musim ikan lemuru dan tongkol. Mereka biasa melaut malam hari. Di pantai sudah ada tengkulak yang menyambut dan membeli ikan-ikan mereka, jadi tak perlu repot menjual ikan ke pasar.

Menurut Pak Supri, setiap tanggal 1 bulan Hijriyah, ombak tinggi. Jadi perahu tidak berani mengantar wisatawan ke Teluk Ijo.

Setiap tanggal satu kalender bulan (Hijriyah) ombak tinggi jadi tidak aman ke Teluk Hijau menggunakan perahu

Pak Supri (pemilik perahu di Pantai Rajekwesi)

Pak Supri juga memberikan informasi bahwa laut di Teluk Ijo ini relatif aman untuk berenang asal tidak sampai ke tengah. Namun, wisatawan juga mesti memperhatikan ombak, jika makin tinggi sebaiknya segera menepi. Sebab beberapa saat lalu, ada 6 remaja tenggelam karena berenang dari jam 7.00 pagi hingga pukul 02.00 sore. Tiga di antara mereka ditemukan selamat, 3 yang lain meninggal karena terseret ombak. Jadi penting sekali untuk berhati-hati. Teluk Ijo ini tidak memiliki sarana prasana keselamatan. Tidak ada penjaga pantai juga. Tiap pengunjung mesti menjaga diri sebaik-baiknya. Jika ombak sedang tinggi sekali, biasanya pantai ditutup untuk wisatawan.

Sekitar pukul 01.30 siang kami kembali ke Pantai Rajegwesi. Kali ini, yang mengemudi adalah Mas Imam, putra kedua Pak Supri. Sampai sana kami makan di kedai milik keluarga Pak Supri lalu mandi dan bersiap shalat. Harga makanan di pantai Rejegwesi relatif normal (tidak semahal biasanya di tempat wisata). Kami makan satu porsi mie ayam, 2 porsi popmie, dan satu kelapa utuh seharga (total) Rp36.000.

Ini beberapa tips saat berkunjung ke sana:

  1. Jika ingin menaiki perahu dan hendak bermain air di pantai, sebaiknya memakai baju renang sebelum naik perahu. Karena baju kemungkinan juga basah terkena cipratan air.
  2. Tidak perlu membawa baju ganti ke Teluk Hijau, karena tidak ada ruangan berganti pakaian di sana. Baju ganti tinggalkan saja di pantai Rajegwesi.
  3. Bawa barang secukupnya (makanan, minuman dan beberapa barang penting) dalam tas tertutup. Lebih baik jika memakai ransel.
  4. Saat di Teluk Ijo, letakkan barang di dekat tempat duduk. Jangan tinggalkan jauh-jauh karena bisa dibongkar oleh si monyet. Pastikan kunci, dompet, dan barang-barang penting lain tersimpan rapi dalam kantong dalam tas. Sebab monyet bisa mengambil barang di kantong depan dan samping tas. Bayangkan kerepotan yang terjadi jika kunci motor atau mobil dicuri si monyet!
  5. Bisa membawa tikar lipat kecil untuk alas meletakkan barang dan tempat duduk di dekat pantai.
  6. Bawa plastik sampah, sebaiknya sampah di bawa kembali ke Rajegwesi. Ada tempat sampah di Teluk ijo tapi sepertinya tidak rutin dibersihkan sehingga saat saya ke sana tempat sampah terguling dan sampah-sampah berserakan.
  7. Jika ingin lebih aman masukkan ponsel atau kamera di dalam plastik (lebih baik plastik khusus kamera atau ponsel) agar terlindung dari air dan pasir. Plastik ini juga bermanfaat untuk melindungi ponsel saat mengambil foto atau video di atas perahu juga saat tiba-tiba ombak menerjang pantai.

Jadi, kapan kamu berkunjung ke Teluk Hijau? Kalau mau ke sana bisa kontak mas Imam dulu untuk tanya cuaca dan bisa pesan perahu. Kalau butuh nomor hp Mas Imam, boleh komen atau tanya melalui email ya: aini.firdaus@gmail.com.

selamat menikmati keindahan ‘surga’ tersebunyi di Banyuwangi!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s